Senin, 25 Maret 2013

foto terbaru

Posted by OMK Santo Michael On 07.59 No comments

 kunjungan Bruder Totok ke Juwangi

  kunjungan Bruder Totok ke Juwangi
  kunjungan Bruder Totok ke Juwangi
  kunjungan Bruder Totok ke Juwangi
  kunjungan Bruder Totok ke Juwangi
  kunjungan Bruder Totok ke Juwangi
  kunjungan Bruder Totok ke Juwangi
  kunjungan Bruder Totok ke Juwangi
 resepsi pernikahan koko dan vina
  resepsi pernikahan koko dan vina
 resepsi pernikahan koko dan vina
 misdinaar baru
misdinar baru

novena gua maria tritis

Posted by OMK Santo Michael On 07.51 No comments

Senin, 18 Maret 2013

Orang Muda Katolik (OMK) dan Liturgi

Posted by OMK Santo Michael On 18.29 No comments

Prasangka

Dalam praktek, banyak kali muncul masalah pada relasi antara OMK dan liturgi (perayaan iman, ibadat). Di antara liturgi dan OMK seolah ada hubungan ”enggan tapi rindu”. Di balik tema “liturgi dan orang muda”, masih bercokol  prasangka laten baik terhadap Orang Muda Katolik (OMK), maupun terhadap Liturgi Gereja Katolik Roma. OMK seolah-olah suka hura-hura, semaunya sendiri, tidak bisa diatur dalam berliturgi. Sebaliknya, liturgi sering dipandang sebagai aturan sakral dan baku, seakan-akan jauh dari gelora kerinduan orang muda. Terhadap OMK, Tim Liturgi Paroki biasanya mengenakan frasa ”OMK yang pragmatis, maunya serba lain”. Seakan-akan OMK diperlawankan dengan liturgi yang tak memberi ruang kebebasan ungkapan iman. Dari pihak OMK, ada pula prasangka, bahwa liturgi itu serba  kaku.
Prasangka ini  bisa dipahami, karena sifat umum orang muda yang masih dalam masa pertumbuhan yang pesat. Mereka sedang berkembang dalam dimensi psikologis, intelektual, seksual-hormonal, emosi, peran sosial dan iman. OMK memang sedang  mengalami transformasi menuju kepribadian yang integral. Rentang masa muda yang panjang (usia 13-35 th) adalah masa distingtif,  saat mencari, mempertanyakan, belajar dan mengambil keputusan. Kita yang pernah menjalani masa muda tentu merasakan bahwa saat itu merupakan saat yang sukar, menantang sekaligus menggairahkan karena penemuan-penemuan baru. Sering kali kita ingin sesuatu yang ”lain dari pada yang lain” pada masa muda. Sedangkan di pihak lain, Liturgi Gereja Katolik Roma, sudah berkembang dalam 20 abad dan sering dipandang sebagai peraturan yang kaku alih-alih sebagai perayaan yang membebaskan. Padahal, potret berliturgi oleh OMK tak selamanya demikian.
Prasangka dan kecurigaan  yang digeneralisasi begitu saja terhadap OMK itu tentu tidak akan memecahkan persoalan yang sering kali muncul dalam praktek penghayatan OMK terhadap liturgi. Tidak bijaksana,  generalisasi mengenai OMK yang ”pragmatis dan maunya serba lain” itu. Liturgi Gereja pun tidak sepantasnya diperlawankan dengan gejolak dan selera orang muda. Kenyataannya, bahwa banyak orang terpanggil menjadi kudus pada masa muda, dan panggilan kekudusan itu banyak yang bermula dari penghayatan liturgi. Kita pun tahu, Ekaristi Kaum Muda (EKM) baik yang diselenggarakan oleh paroki, maupun oleh Panitia World Youth Day yang mendatangkan Sri Paus sebagai pemimpin liturgi, selalu dipenuhi OMK dengan kerinduan mendalam. Bahkan, kelompok misa bahasa Latin yang terkesan ”penuh aturan ketat” ada yang digerakkan  oleh orang muda.

Memerlukan Dukungan

Seperti pada umumnya orang Katolik Indonesia, tua maupun muda, penghayatan OMK akan liturgi sebenarnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman mereka akan liturgi itu sendiri. Bahwa praktek liturgi OMK kadang-kadang membuat para penanggungjawab liturgi mengerutkan kening, bagi saya lumrah saja dalam konteks pembelajaran. Gelegak kreativitas masa muda sekaligus tingkat pengetahuan dan pengalaman OMK akan liturgi haruslah bisa dipahami dan didukung. Tak usahlah daya kreatif mereka dalam ber-liturgi dihakimi dengan sewenang-wenang seperti yang sering terdengar dari keluhan mereka. Gara-gara  maunya kreatif, mereka ”dikecam secara liturgis”.
Sepanjang pengalaman para pendamping, tak ada OMK yang menjadi buruk karena mau kreatif dalam merencanakan dan mengolah liturgi. Justeru sebaliknya, para aktivis kelompok-kelompok OMK yang mau proaktif , mau belajar, mau secara jujur mengusulkan berbagai kreasi dalam liturgi, dan karenanya  berani mencari dan melakukan yang benar, berani mengakui  kesalahan bila terjadi dan berani memperbaikinya) terbukti menjadi aktivis  dengan penghayatan liturgi yang nyata dalam perilaku. Lagipula, jika OMK membuat kesalahan dalam ber-liturgi, ternyata kesalahan itu tidaklah fatal, normal saja. Kesalahan mereka pun kadang-kadang karena pengaruh kelompok kategorial  yang lebih senior. Justeru kelompok-kelompok kategorial yang beranggotakan orang-orang tidak muda lagi lah yang sering bikin kesalahan fatal, dan keras kepala, bukan? Sebaliknya, biasanya dengan taat OMK mau belajar dari kesalahan. Mereka tetap gembira dan kreatif, asalkan pendamping dengan empati mau  setia mendampingi, menjelaskan makna simbol dan hakikat liturgi yang kaya makna itu kepada mereka, memetakan posisi kelompok dalam lebensrauung Gereja lokal, dsb. Saya yakin, dalam kerja sama yang baik dengan pendamping itu dapatlah dihindarkan kesalahan-kesalahan fatal yang tidak perlu terjadi. Sebenarnyalah di antara Liturgi dan OMK ada hubungan batin yang saling mendukung. Liturgi menjadi ongoing formation  bagi OMK. Sedangkan daya kreativitas dan gelora kemudaan OMK membuat liturgi dirayakan dengan bersemangat. Liturgi tanpa keterlibatan orang muda, merupakan tanda nyata kematian Gereja.

Liturgi Kelompok OMK

Ketika naskah ini diketik (Mei 2008-pen), kantor Youth Desk – FABC di Manila sedang mengolah survei mengenai penghayatan OMK akan Liturgi Ekaristi. Munculnya jajak pendapat untuk OMK mengenai Ekaristi ini didasari praduga bahwa kerinduan OMK akan liturgi berbanding lurus dengan pengetahuan dan pengalaman mereka ber-liturgi.  Tema Liturgi Ekaristi menjadi pembahasan dalam Asian Youth Daytahun  2009 di Manila.  Mengapa tema ini diagendakan? Saya menduga, di satu sisi ada kecemasan kalau-kalau  Liturgi  ”ditinggalkan” alias ”tidak laku” lagi di kalangan OMK. Liturgi disangka tidak mampu menjawab kerinduan OMK di tengah arus percepatan globalisasi yang mengasingkan OMK. Di sisi lain ada pula kecemasan kalau-kalau  OMK di berbagai kelompok kategorial yang masih mau aktif ber-liturgi  mulai ”meninggalkan” kaidah liturgi, alias ”mengikuti maunya sendiri”. Komunitas-Komunitas OMK  lebih mementingkan ”rasa kepuasan kelompok” dalam berliturgi dibandingkan ”rasa universal” Gereja. Dua macam kecemasan itu bermuara pada dua pertanyaan atas satu kenyataan liturgi: 1. Bagaimanakah liturgi menjawab kerinduan OMK akan perasaan ditemani oleh ”Yang Ilahi” di tengah arus zaman dan perubahan selera ini? 2. Bagaimanakan OMK menyadari tanggungjawab dan penghayatannya akan liturgi yang bergairah karena setia pada aturan Gereja?
Saya menemukan dua prasyarat atas jawaban pertanyaan di atas setelah mengamati beberapa komunitas OMK.  Prasyarat itu adalah: 1. Jika mereka mendapatkan komunitas yang digembalakan dengan semangat berbagi dan mereka dipercaya dalam kegiatan komunitas. 2. Jika ungkapan kemudaan mereka diberi ruang dan waktu yang cukup dalam liturgi komunitas.
Pada beberapa kelompok OMK, liturgi mereka hayati sepenuh hati. Tampaknya mereka ”puas” dan selalu rindu dengan liturgi komunitas mereka.  Sebabnya, liturgi tak mereka lepaskan  dari kehidupan komunitas kategorial mereka, dan bahwa komunitas memberi ruang dan waktu bagi karakter kemudaan mereka dalam liturgi. Ada ”gembala” (pendamping/ moderator) yang secara tetap mempercayai mereka dalam kegiatan komunitas. Sang pendamping ini (imam dan biarawati/awam) mendampingi liturgi mereka dengan tak bosan mengajarkan prinsip-prinsip  liturgi  sesuai  maksud Gereja. Beberapa kelompok OMK itu adalah: Komunitas Sant’ Egidio (SE), beberapa komunitas Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK) muda-mudi, beberapa sel Komunitas  Tritunggal Mahakudus (KTM) muda-mudi; beberapa presidium Legio Mariae (LM) muda-mudi, kelompok Imago Dei (ID), dan kelompok Doa Taize (DT). Mereka memiliki kesamaan pengalaman, bahwa perjumpaan dengan Allah dalam doa, teristimewa liturgi merupakan puncak dan sumber spiritualitas dan kegiatan komunitas.

Variasi yang Melegakan

Kelompok-Kelompok OMK itu  biasa berkumpul untuk berdoa secara rutin.  Pertemuan doa mereka mengikuti bukanlah liturgi karena dan karenanya memiliki variasinya masing-masing.  Dalam hal ini Tata Perayaan Sabda atau Ibadat Sabda atau Doa kelompok kategorial di luar Ekaristi, adalah kegiatan non liturgis atau para liturgi atau devosi. Perayaan Sabda adalah liturgi bila dilakukan dalam Ibadat Harian dan liturgi sakramen termasuk Ekaristi yang meliputi dua bagian utama: liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Ibadat Sabda di luar liturgi atau para liturgi dan devosi tidak sangat terikat pada kaidah-kaidah liturgi. Dalam hal ini kreativitas orang muda mendapat ruang yang lebih luas dan nyaman. Sebulan atau beberapa bulan sekali mereka mengundang imam untuk merayakan ekaristi. Umumnya, mereka mengikuti aturan liturgi yang baku. KTM dan PDKK  secara berkala membuat adorasi sakramen Mahakudus. Sebaiknya Adorasi Sakramen Mahakudus dibuat sebelum atau sesudah Perayaan Ekaristi, atau sebagai unsur dari Ritus Penutup Ekaristi, dan bukan di tengah liturgi Sabda atau di tengah liturgi Ekaristi.  Beberapa variasi liturgi, khususnya dalam perayaan ekaristi dan adorasi, tampak paling ekstensif dalam PDKK dan KTM.
Lagu-lagu yang dipakai KTM dan PDKK sebagian besar bercorak mirip pop rohani. Ciri khas liturgi PDKK dan KTM adalah sangat ekspresif. Bernyanyi melambungkan pujian kepada Allah, sambil bertepuk tangan, mengangkat tangan, diiringi musik yang meriah. Di sini dikenal juga pencurahan Roh. Salah satu yang khas pula dalam PDKK dan KTM ialah peran pemimpin doa yang mengantar sesi-sesi lagu, doa dan firman. Dalam perayaan ekaristi, ada kesan bahwa peran imam  sebagai pemimpin resmi liturgi Gereja, tenggelam oleh peran pembawa acara yang juga pemimpin doa. Ambil contoh, pengantar tobat yang dibawakan imam, sering kali masih diulang oleh pemimpin doa dengan lebih panjang. Bagaimana hal ini menjadi variasi yang tidak mengganggu? Kuncinya, dialog persiapan antara imam dan pemimpin doa.  Menjadi soal jika imam tidak diajak bicara dahulu  dan celakanya merasa tidak rela karena dilangkahi dalam memimpin doa. Bisa jadi saat homili menjadi saat pelampiasan ketidakpuasan imam. Namun hal ini jarang sekali terjadi dalam kelompok doa OMK. Pemimpin doa komunitas PDKK dan KTM OMK biasanya bisa bekerja sama dengan baik dengan imam pemimpin ekaristi.
Pertemuan doa  DT mendaraskan mazmur dan doa singkat dalam nada sederhana dengan musik lembut dan dekorasi temaram dengan ikon salib Kristus di altar depan. Doa-doa  Sant’ Egidio mirip dengan DT. ”Mereka biasa berdoa sebentar di depan ikon Yesus. Ini sungguh doa inklusif. Pemimpinnya tidak menempatkan diri di depan umat (di belakang altar), tetapi di depan umat. Kalau ada imam ingin berbagi atau memberi keterangan Sabda Tuhan, barulah beliau tampil di mimbar. Hal ini wajar karena pertemuan doa mereka ini bukanlah perayaan Ekaristi.  Sejauh perlu, doa dilakukan “bersama” di depan ikon Yesus. Doa ini juga merupakan relativisasi di hadirat Tuhan. Orang, setelah seharian bekerja, tidak mensyukuri prestasinya atau mengumpat kegagalan hari itu, melainkan mempersembahkan seluruh perjuangan sepanjang hari kepada Tuhan, entah sukses, entah gagal, entah biasa-biasa saja. Sebetulnya cara pandang seperti ini biasa saja. Hanya saja, doa ini dikemas dalam suatu liturgi yang menyentuh hati: di depan ikon besar Yesus, dalam keredupan cahaya gereja, dengan koor satu suara, sederhana, dengan iringan organ, tapi mengantar pada keagungan Tuhan. Liturgi mereka tidak ada yang istimewa. Pengalaman mereka yang selalu dibawa dalam doa-doa harian dan misa di akhir pekan, itulah yang istimewa.
ID mengungkapkan doa bersama sebagai sarana berkomunikasi dengan Tuhan, untuk mengetahui kehendak-Nya, mendapatkan restu, serta mendapat kekuatan. Dasar kegiatan ID ialah saling menguatkan dalam doa (Gal. 6:2; Ef. 6:18-20). Suasana praise and  worship bersifat fun, gembira penuh syukur. Namun jika dilakukan dalam Liturgi (misalnya Ekaristi), apapun bentuk variasi penyesuaian, hendaknya tidak timbul kesan bahwa di tengah liturgi dimasukkkan acara gembira ria yang bersifat profan.  Mereka pun mencari rhema untuk minggu itu dan mengungkapkan dalam liturgi.
LM menempatkan devosi kepada Bunda Maria. Namun yang menjadi sentralnya ialah Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.  Semua pusat devosi, ibadat, liturgi adalah Allah: Bapa, Putra dan Roh Kudus. Maka devosi yang khusus kepada Maria itu tidak harus mengaburkan atau menghilangkan sentralnya, tetapi justru semakin mengarahkan para devosan ke sentral: ad Iesum, ad Patrem, ad Spiritum Sanctum, itu sebabnya semua orang yang berdoa rosario atau mempunyai devosi khusus kepada Bunda Maria menyalaminya sebagai Putri Allah Bapa, Bunda Allah Putra dan Mempelai Allah Roh Kudus. Per Mariam ad Iesum.  Doa  mereka mengikuti tatacara dalam Buku Pegangan LM. Lagu sangat minim, kalaupun ada,  lagu penghormatan kepada Bunda Maria selalu dinyanyikan dengan khusuk. Kerendahan hati dan kesederhanaan menjadi pola doa  kelompok ini. Doa rosario dan catena legionis diwajibkan dalam devosi mereka. Jika ada misa, doa rosario dan catena legionis wajib didoakan tetapi sebelum liturgi, sebelum Ekaristi, yang berarti di luar liturgi dan bukan di tengah liturgi. Ini sangat tepat, walaupun mungkin ada yang kurang paham lalu mendoakannya dalam liturgi. Tak banyak OMK yang terlibat dalam LM dibanding kelompok lain.
Walaupun berbeda ungkapan, namun nyatalah bahwa perasaan mereka sama-sama terangkat kepada kehadiran Yang Ilahi dan iman dimantapkan. Adanya penyesuaian dan variasi itu dirasakan melegakan  OMK dalam menghayati iman akan Allah.

Liturgi yang Tergairahkan oleh Kemudaan

Apakah istimewanya liturgi orang muda? Sebenarnya tatacara liturgi mereka tidak ada bedanya dengan liturgi pada umunya. Yang istimewa adalah apa yang mereka rindukan dan  cara ungkapannya. Dalam situasi pertumbuhan menuju masa depan yang tidak serba jelas, di tengah zaman yang hiruk pikuk tidak pasti, liturgi menjadi wahana ungkapan mereka. Apakah liturgi bisa menjawab kerinduan mereka? Alih-alih menunggu liturgi memuaskan mereka, maka banyak kali terjadi, mereka-lah yang berinisiatif menggairahkan liturgi sesuai desakan kuat di dalam dada untuk mengungkapkan kerinduan mereka akan Allah. Sayangnya, para penanggungjawab liturgi kadang-kadang tidak (mau) menanggapi dengan sabar. Akibatnya, gairah OMK sering dikecewakan. Yang diperlukan sekarang adalah penanggungjawab liturgi yang melibatkan OMK dalam tim liturgi, agar perencanaan doa-doa dan lagu, serta variasi lain bisa menjawab kerinduan OMK. Ada aneka warna kelompok doa OMK. Sangat bagus jika mereka dilibatkan oleh para penanggungjawab liturgi di berbagai tingkat (paroki, dekenat/kevikepan, dan keuskupan) untuk menggairahkan liturgi kita. Dengan demikian, tak kan ada lagi kecurigaan dan penilaian sepihak atas OMK seperi pada alinea pertama tulisan ini. Mereka pun merasa tersapa dan pasti belajar liturgi Katolik dengan lebih baik. Ada satu lagi potret ber-liturgi OMK walaupun sangat jarang. Yakni OMK yang tergerakkan oleh liturgi sedemikian rupa, sehingga terinspirasi untuk terjun dalam perjuangan menegakkan perdamaian dan keadilan. Mereka pun perlu dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan liturgi agar liturgi benar-benar ”puncak dan sumber” hidup beriman bagi OMK.

OMK dan Musik Liturgi  

Bayangkanlah suatu perayaan Liturgi Ekaristi di gedung gereja yang besar dengan ribuan OMK. Bagaimana jika tanpa musik? Nah, musik ialah salah satu kegemaran favorit OMK, sejak era zaman batu hingga era dot com ini. Namun musik Liturgi, memiliki ketentuan liturgis. Apakah OMK masih tertarik dengan musik liturgi? Atau, apakah musik liturgi masih mampu berdaya pikat terhadap OMK?
Perayaan Liturgi  tidak melulu  pikiran (ratio) . Liturgi selalu meliputi tata gerak dan menyangkut  seluruh kekayaan cita-rasa batin yang mendorong setiap orang untuk mengungkapkannya secara lahir. Wujudnya doa, permohonan, pujian, sembah sujud, dan semacamnya. Relasi dengan Allah ialah misteri. Maka apa pun yang sulit dinyatakan dalam kata-kata, diwujudkan dalam seni yaitu musik, syair, nyanyian, lukisan, pahatan yang menembus misteri relasi Allah dan manusia. Itulah jiwa Liturgi, yaitu Allah yang selalu ingin mengkomunikasikan diri kepada manusia dan manusia yang rindu menyambut-Nya. Ungkapan itu diungkapkan oleh manusia dengan segala dimensi kemanusiaannya. Di sinilah kita tempatkan musik dan seni liturgi. Tujuan Musik Liturgi ialah kemuliaan Allah dan pengudusan manusia (Konstitusi tentang Liturgi, / Sacrosanctum Concilium, SC, 112) dan Alkitab memuji lagu-lagu ibadat (Ef 5:19; Kol 3:16)
Yang harus diketahui ialah perbedaan antara Musik / Lagu Liturgi dan Musik / Lagu Rohani Umat.   Ketika ungkapan musik diwujudkan dalam perayaan Liturgi, maka kita mengenal istilah Musik/ Nyanyian Liturgi ; sedangkan ketika ungkapan musik diwujudkan dalam perayaan non-liturgi, maka kita mengenal istilah Nyanyian rohani umat (populer). Dalam Musik/Lagu Liturgi Ada 3 kekuatan yang terkandung sesuai hakikat perayaan Liturgi:
1.      Dinamisme iman pribadi
2.      Dinamisme misteri Allah Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus.
3.      Dinamisme komunitas Gerejawi sebagai anggota Tubuh mistik Kristus.
Komponen musik Liturgi adalah ungkapan komunikasi-komunal antara  saya – kita – Allah Tritunggal dalam cara yang lebih mesra dan batiniah.
Lagu / Nyanyian Rohani Umat atau Lagu Rohani Populer, tidak mengandung hakikat  tiga kekuatan dinamis terebut. Musik rohani merupakan ungkapan iman personal saja, belum eklesial/Gerejawi dan sering juga tidak memperhitungkan dimensi dinamika Allah Tritunggal. Namun SC 118 mengingatkan agar nyanyian rohani umat dikembangkan secara ahli, sehingga kaum beriman dapat bernyanyi dalam kegiatan devosional dan perayaan-perayaan ibadat menurut ketentuan rubrik.
Dalam dokumen “Musicam Sacram” artikel 5 dikatakan sbb:
Sungguh, lewat bentuk  ini (musik-pen), doa diungkapkan secara lebih menarik, dan misteri Liturgi, yang sedari hakikatnya bersifat hirarkis dan jemaat, dinyatakan secara lebih jelas. Kesatuan hati dicapai secara lebih mendalam berkat perpaduan suara. Hati lebih mudah dibangkitkan ke arah hal-hal surgawi berkat keindahan upacara kudus…”
Apabila telah dipahami betapa luhurnya misteri yang terjadi selama perayaan Liturgi maka perlulah OMK menyadari betapa luhurnya peran musik dan nyanyian dalam Liturgi sebagai sarana komunikasi dengan yang ilahi dalam kebersamaan.
Sacrosanctum Concilium artikel 112 menyebutkan peran musik sebagai tugas pelayanan untuk mendukung ibadat kepada AllahPaus Pius X menyebutnya sebagai umile ancella. Paus Pius XI menyebutnya sebagai serva nobilissima. P.Pius XII menyebutnya sebagai sacrae liturgiae quasi administra. Dan Konsili Vatikan II menyebutnya: munus ministeriale in dominico servitio (tugas pelayanan dalam mengabdi Tuhan).
Syarat-syarat Musik Liturgi:
  1. Harus merupakan musik sejati menurut seni musik.
  2. Kata-kata dan nada harus sungguh menghantar manusia kepada Allah, oleh karena itu harus berdasarkan teks Kitab Suci dan Teks Liturgi.
  3. Harus mengungkapkan daya-daya seni dan religiositas dalam dialog dan tanda-tanda simbolik lainnya selama berlangsung perayaan, di mana Allah dimuliakan dan umat beriman dikuduskan.
Maka Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan upacara Ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan Liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam Ibadat kepada Allah (SC 112).

Ekaristi untuk Orang Muda

Actio Pastoralis, instruksi Kongregasi Ibadat mengenai “Misa untuk kelompok-kelompok khusus” 15 Mei 1969 menyatakan ”Gereja sangat menganjurkan penyelenggaraan Misa untuk berbagai kelompok dalam paroki baik territorial maupun kategorial sebab mempunyai dampak lebih mendalam terhadap penghayatan hidup kristiani, saling mendukung dalam perkembangan hidup rohani dan kesaksian iman”.
Untuk itu diperlukan berbagai penyesuaian, yang dapat dibagi dalam dua kategori:
1.      penyesuaian akomodatif
2.      penyesuaian inkulturatif
Akomodatif  maksudnya penyesuaian dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan budaya setempat misalnya: bacaan, nyanyian, cara berkomunikasi, tata-gerak ritual, dramatisasi, tarian,  dll. Misa Orang Muda perlu banyak penyesuaian sesuai dengan jiwa mereka agar sungguh berdaya-guna bagi hidup mereka, namun mengindahkan kaidah liturgi.
Inkulturatif maksudnya  unsur-unsur budaya setempat di mana dituntut studi yang mendalam mengenai unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan untuk membantu kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam penghayatan iman mereka.

Harapan

Semoga dengan demikian musik dan lagu liturgi menyemarakkan cita rasa batin yang terdalam dari OMK. Musik yang dipakai dalam liturgi haruslah yang menjunjung rasa hormat sembah bakti dalam memuliakan Allah, dan membuat OMK sadar dan aktif dalam liturgi.

*****
Yohanes Dwi Harsanto Pr (Sekretaris Eksekutif komisi Kepemudaan KWI) Ditulis di Maumere, 24 Mei 2008, saat bersama OMK Regio Nusa Tenggara.
Terima kasih kepada para teman berbincang: Rm Y Subagyo Pr, Sdr Hanny, Sdr Ari, Rm Ruki SJ, Rm Deshi SJ, Rm Yumar SJ, Sdr Xaxa, Mas Felix.  Tulisan di atas sudah pernah dimuat di Majalah Liturgi, Komisi Liturgi KWI, tahun 2008. Terima kasih atas ide  dan masukan dari Rm Bosco Da Cunha O.Carm (Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI) mengenai OMK dan Musik Liturgi, yang membuat makalah ini makin lengkap. Makalah ini pernah dimuat di Majalah LITURGI, terbitan Komisi Liturgi KWI, 2008.
Terima kasih kepada  Romo Boli Ujan SVD, mantan sekretaris eksekutif Komisi Liturgi KWI turut membantu penyempurnaan artikel ini.
[Berikut ini adalah artikel tentang Liturgi, yang ditulis berdasarkan atas korespondensi/ diskusi dengan Rm. Boli Ujan SVD, seorang pakar Liturgi di tanah air, dan salah satu pembimbing situs katolisitas.org. Apa yang tertulis di sini telah disetujui oleh beliau].
 

Arti liturgi

Liturgi (leitourgia) pada awalnya berarti “karya publik”. Dalam sejarah perkembangan Gereja, liturgi diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya keselamatan Allah. Di dalam liturgi, Kristus melanjutkan karya Keselamatan di dalam, dengan dan melalui Gereja-Nya.[1] Dalam kitab Perjanjian Baru, yaitu Surat kepada Jemaat di Ibrani, kata leitourgia dan leitourgein disebut 3 kali (lih. Ibr 8:6; 9:21; 10:11) yang mengacu kepada pelayanan imamat Kristus.
Maka, liturgi merupakan wujud pelaksanaan tugas Kristus sebagai Imam Agung, di mana Kristus menjadi Pengantara satu-satunya antara manusia kepada Allah Bapa, dengan mengorbankan diri-Nya sekali untuk selama-lamanya (lih. Ibr 9:12; 1 Tim 2:5). Korban Kristus yang satu-satunya inilah yang dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus, dalam perayaan Ekaristi. Dengan demikian, liturgi merupakan penyembahan Kristus kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus, dan dalam melakukan penyembahan ini, Kristus melibatkan TubuhNya, yaitu Gereja. Karena itu, liturgi merupakan karya bersama antara Kristus-Sang Kepala, dan Gereja yang adalah Tubuh Kristus,[2] sehingga tidak ada kegiatan Gereja yang lebih tinggi nilainya daripada liturgi karena di dalam liturgi terwujudlah persatuan yang begitu erat antara Kristus dengan Gereja sebagai ‘Mempelai’-Nya dan Tubuh-Nya sendiri.[3]
Jadi definisi liturgi, menurut Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi Suci, Mediator Dei, menjabarkankan definisi liturgi sebagai berikut:
“Liturgi adalah ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus kita sebagai Kepala Gereja kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang dilakukan oleh komunitas umat beriman kepada Pendirinya [Kristus], dan melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya, liturgi adalah ibadat penyembahan yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus secara keseluruhan, yaitu Kepala dan anggota-anggotanya.”[4]
atau menurut Rm. Emanuel Martasudjita, Pr, “Liturgi adalah perayaan misteri karya keselamatan Allah di dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.”[5]

Partisipasi aktif dan sadar

Karena liturgi merupakan perayaan karya keselamatan yang dilakukan oleh Kristus dalam kesatuan dengan Gereja-Nya, maka kita yang adalah anggota- anggota-Nya harus turut mengambil bagian secara aktif di dalam liturgi. Mengapa? Karena liturgi dimaksudkan sebagai karya Kristus dengan melibatkan kita anggota- anggota-Nya, yaitu karya keselamatan Allah yang diperoleh melalui Misteri Paska Kristus, yaitu: wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke surga. Kita disatukan dalam Misteri Paska Kristus ini, dengan membawa persembahan hidup kita ke hadapan Allah, dan dengan inilah kita menjalankan martabat Pembaptisan kita sebagai umat pilihan Allah.
Redemptionis Sacramentum (RS) 36     Perayaan Misa, sebagai karya Kristus serta Gereja, merupakan pusat seluruh hidup Kristiani, baik untuk Gereja universal maupun untuk Gereja partikular, dan juga untuk tiap-tiap orang beriman, yang terlibat di dalamnya “pada cara-cara yang berbeda-beda sesuai dengan keanekaragaman jenjang, pelayanan dan partisipasi nyata.” Dengan cara ini umat Kristiani, “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, milik Allah sendiri”, menunjukkan jenjang-jenjangnya menurut susunan hirarki yang rapih. “Adapun imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda hakekatnya dan bukan hanya tingkatannya, saling terarahkan. Sebab keduanya dengan cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.”
RS 37     Maka itu partisipasi kaum beriman awam dalam Ekaristi dan dalam perayaan-perayaan gerejawi lain, tidak boleh merupakan suatu kehadiran melulu, apalagi suatu kehadiran pasif, sebaliknya harus sungguh dipandang sebagai suatu ungkapan iman dan kesadaran akan martabat pembaptisan.
Partisipasi secara aktif dan sadar ini terlihat dari keikutsertaan umat dalam aklamasi-aklamasi yang diserukan oleh umat, jawaban-jawaban tertentu, lagu-lagu mazmur dan kidung, gerak-gerik penghormatan, menjaga keheningan yang suci pada saat-saat tertentu, dan adanya rubrik-rubrik untuk peranan umat. Di samping itu peluang partisipasi umat dapat diwujudkan dalam pemilihan lagu-lagu, doa-doa, pembacaan teks Kitab Suci, dan dekorasi gereja. Keikutsertaan umat ini tujuannya adalah untuk semakin meningkatkan penghayatan akan sabda Allah dan misteri Paska Kristus yang sedang dirayakan (lih. RS 39). Namun demikian, di atas semua itu, partisipasi aktif dan sadar ini menyangkut sikap batin, yang semakin menghayati dan mengagumi makna perayaan Ekaristi:
RS 40   Akan tetapi, meskipun perayaan liturgis menuntut partisipasi aktif semua orang beriman, belum tentu berarti bahwa setiap orang harus melakukan kegiatan konkrit lain di samping tindakan dan gerak-gerik umum, seakan-akan setiap orang wajib melakukan satu tugas khusus dalam perayaan Ekaristi. Sebaliknya, melalui instruksi katekis harus diusahakan dengan tekun untuk memperbaiki pendapat-pendapat serta praktek-praktek yang dangkal itu, yang selama beberapa tahun terakhir ini sering terjadi. Katekese yang benar akan menanam kembali dalam hati seluruh orang Kristiani kekaguman akan mulianya serta agungnya misteri iman, yakni Ekaristi…. seluruh hidup Kristiani yang mendapat kekuatan daripadanya dan sekaligus tertuju kepadanya….
Tentang sikap batin ini, Redemptionis Sacramentum mengajarkan:
“Maka, haruslah menjadi jelas buat semua, bahwa Tuhan tidak dapat dihormati dengan layak kecuali pikiran dan hati diarahkan kepada-Nya…. (RS 26) Oleh karena itu, ….. semua umat harus sadar bahwa untuk mengambil bagian di dalam kurban Ekaristi adalah tugas dan martabat mereka yang utama. Dan maka bahwa bukan dengan cara yang pasif dan asal-asalan/malas, melantur dan melamun, tetapi dengan cara penuh perhatian dan konsentrasi, mereka dapat dipersatukan dengan se-erat mungkin dengan Sang Imam Agung, sesuai dengan perkataan Rasul Paulus, “Hendaklah kamu menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp 2:5) Dan bersama dengan Dia dan melalui Dia hendaklah mereka membuat persembahan, dan di dalam kesatuan dengan Dia, biarlah mereka mempersembahkan diri mereka sendiri (RS 80). “….menaruh pikiran yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” mensyaratkan bahwa semua orang Kristen harus mempunyai, sedapat mungkin secara manusiawi, sikap batin yang sama dengan yang telah terdapat pada Sang Penebus ilahi ketika Ia mempersembahkan Diri-Nya sebagai korban. Artinya mereka harus mempunyai sikap kerendahan hati, memberikan penyembahan, hormat, pujian dan syukur kepada Tuhan yang Maha tinggi dan maha besar. Selanjutnya, artinya mereka harus mengambil sikap seperti halnya sebagai kurban, [yaitu] bahwa mereka menyangkal diri mereka sendiri sebagaimana diperintahkan di dalam Injil, bahwa mereka dengan sukarela dan dengan kehendak sendiri melakukan pertobatan dan tiap-tiap orang membenci dosa-dosanya dan membayar denda dosanya. Dengan kata lain mereka harus mengalami kematian mistik dengan Kristus di kayu salib, sehingga kita dapat menerapkan kepada diri kita sendiri perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan Kristus” (Gal 2:19) (RS, 81)
“…. Jelaslah penting bahwa ritus kurban persembahan yang diucapkan secara kodrati, menandai penyembahan yang ada di dalam hati. Kini kurban Hukum yang Baru menandai bahwa penyembahan tertinggi di mana Sang Kepala yang mempersembahkan diri-Nya, yaitu Kristus, dan di dalam kesatuan dengan Dia dan melalui Dia, semua anggota Tubuh Mistik-Nya memberi kepada Tuhan penghormatan dan sembah sujud yang layak bagi-Nya. (RS 93)…. Agar persembahan di mana umat beriman mempersembahkan Kurban ilahi di dalam kurban ini kepada Bapa Surgawi memperoleh hasil yang penuh, adalah penting bahwa orang-orang menambahkan…. persembahan diri mereka sendiri sebagai kurban (RS 98). Maka semua bagian liturgi, akan menghasilkan di dalam hati kita keserupaan dengan Sang Penebus ilahi melalui misteri salib, menurut perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan Kristus. Aku hidup namun bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:19-20) Jadi kita menjadi kurban…. bersama dengan Kristus, untuk semakin memuliakan Bapa yang kekal.” (RS 102)

Penyesuaian liturgi bertujuan untuk meningkatkan peran serta para peraya secara aktif

Liturgi, sebagai karya Gereja (karya Kristus dan anggota-anggota-Nya) mengalami perkembangan dan penyesuaian; dan hal ini kita lihat dalam sejarah Gereja. Sebab bagaimanapun, liturgi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Gereja, dan karena itu segala bentuk penyesuaiannya harus semakin mendorong partisipasi umat di dalamnya dan mengarahkan umat kepada peningkatan penghayatan akan maknanya yang luhur.
Romo Boli Ujan SVD, seorang pakar liturgi di tanah air dan salah seorang narasumber di situs ini, pernah menulis di artikel tentang Penyesuaian dan Inkulturasi liturgi, silakan klik, demikian:
“Arah penyesuaian liturgi dari pihak para peraya sekaligus mengingatkan kita akan tujuan dari penyesuaian liturgi yaitu agar para peraya dapat dengan mudah dan jelas serta aktif mengambil bagian dalam perayaan. Dengan demikian kita lebih mampu memahami tindakan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya. …. Liturgi adalah perayaan pertemuan antara Allah dengan manusia dan antara anggota persekutuan satu sama lain yang disatukan dalam Allah. Kehadiran Allah dalam liturgi ini merupakan hal pokok yang tidak dapat digantikan oleh yang lain. Inilah yang membuat keseluruhan suasana perayaan menjadi kudus dan berbeda dengan suasana profan…..
[Namun] Sering penyesuaian liturgi dipandang sebagai kegiatan satu arah saja yaitu upaya dari pihak Allah dan para petugas khusus untuk membuat liturgi itu menjadi relevan dan sesuai dengan para peraya. Padahal liturgi merupakan pertemuan antara Allah dan manusia, dalamnya terjadi dialog bukan monolog. Liturgi sebagai karya Allah ditanggapi oleh para peraya. Maka penyesuaian dari pihak Allah dan para petugas khusus dalam liturgi perlu ditanggapi oleh semua peraya. Dalam liturgi manusia harus berusaha menyesuaikan diri dengan Allah serta rencana-rencana-Nya, dan menyesuaikan diri dengan pedoman-pedoman liturgi terutama pedoman umum mengenai hal-hal pokok dan penting yang dipandang sebagai unsur pembentuk liturgi. Arah penyesuaian terakhir sering kurang mendapat perhatian dalam pembicaraan mengenai pokok ini, sebab yang lebih diutamakan dalam diskusi dan proses penyesuaian liturgi adalah segala upaya membuat liturgi itu sesuai atau cocok untuk para peraya. Kalau demikian penyesuaian liturgi menjadi pincang.”

Beberapa Pelanggaran Liturgi dalam Perayaan Ekaristi

Setelah kita mengetahui pengertian tentang liturgi, mari kita lihat bersama adanya pelanggaran-pelanggaran yang umum terjadi di dalam liturgi Perayaan Ekaristi, yang biasanya didasari oleh kekurangpahaman ataupun ketidakseimbangan dialog antara pihak Allah dan pihak peraya. Dewasa ini, ada kecenderungan untuk terlalu mengikuti kehendak para peraya, sampai mengesampingkan apa yang sebenarnya menjadi hal prinsip yang menjadi kehendak Allah, atau yang selayaknya diberikan kepada Allah sebagai ungkapan penghargaan kita akan Misteri Paska yang kita rayakan dalam liturgi. Kekurangpahaman ataupun ketimpangan penyesuaian dalam liturgi ini melahirkan banyak pelanggaran-pelanggaran, dan berikut ini adalah beberapa contohnya:

Pelanggaran sehubungan dengan persiapan batin sebelum mengikuti Misa Kudus:

1. Tidak berpuasa sedikitnya sejam sebelum menerima Komuni
Seharusnya:
KHK Kan. 919
§ 1 Yang akan menerima Ekaristi Mahakudus hendaknya berpantang dari segala macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya satu jam sebelum komuni, terkecuali air semata-mata dan obat-obatan.
Maksud puasa sebelum Komuni tentu adalah untuk semakin menyadarkan kita bahwa yang akan kita santap dalam Ekaristi adalah bukan makanan biasa, namun adalah Tuhan sendiri: yaitu Kristus Sang Roti Hidup, yang dapat membawa kita kepada kehidupan kekal (lih. Yoh 6:56-57)
2. Menggunakan pakaian yang tidak/ kurang sopan ke gereja, datang terlambat, ngobrol, berBBM/ SMS di gereja, makan dan minum di dalam gereja, terutama anak- anak, anggota koor yang minum sebelum/ sesudah bertugas, umat saat menunggu dimulainya perayaan Ekaristi.
Seharusnya:
KGK 1387 ….Di dalam sikap (gerak-gerik, pakaian) akan terungkap penghormatan, kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus menjadi tamu kita. (CCC 1387 …. Bodily demeanor (gestures, clothing) ought to convey the respect, solemnity, and joy of this moment when Christ becomes our guest)
Sudah sewajarnya dan sepantasnya jika kita memberikan penghormatan kepada Allah yang kita jumpai di dalam liturgi. Jika sikap seenaknya tidak kita lakukan jika kita sedang bertemu bapak Presiden, maka selayaknya kita tidak bersikap demikian kepada Tuhan yang kita jumpai di gereja.
3. Tidak memeriksa batin, namun tetap menyambut Komuni meskipun dalam keadaan berdosa berat
Seharusnya:
RS 81    Kebiasaan sejak dahulu kala menunjukkan bahwa setiap orang harus memeriksa batinnya dengan mendalam, dan bahwa setiap orang yang sadar telah melakukan dosa berat tidak boleh menyambut Tubuh Tuhan kalau tidak terlebih dahulu menerima Sakramen Tobat, kecuali jika ada alasan berat dan tidak tersedia kemungkinan untuk mengaku dosa; dalam hal itu ia harus ingat bahwa ia harus membuat doa tobat sempurna, dan dalam doa ini dengan sendirinya tercantum maksud untuk mengaku dosa secepat mungkin (lih. KGK 1385, KHK Kan 916, Ecclesia de Eucharistia, 36) 
Dosa berat memisahkan kita dari Kristus, dan karena itu untuk bersatu dengan-Nya kita harus meninggalkan dosa tersebut, dan mengakukannya di dalam sakramen Tobat. Contoh dosa berat ini misalnya jika hidup dalam perkawinan yang tidak sah menurut hukum Gereja Katolik, atau hidup dalam perzinahan/ percabulan, atau dalam keadaan kecanduan obat-obatan, dst. Kekecualian akan “adanya alasan berat dan tidak tersedia kemungkinan mengaku dosa”, contohnya adalah bahaya maut, atau jika tinggal di daerah terpencil di mana Komuni dibagikan oleh seorang asisten imam dalam waktu sekian minggu sekali.

Pelanggaran dalam bagian- bagian Misa Kudus:

1. Mazmur Tanggapan digantikan dengan lagu rohani lainnya
Seharusnya:
Redemptoris Sacramentum (RS) 62    “Tidak juga diperkenankan meniadakan atau menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagimengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi Sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci.” (lih. juga PUMR 57)
Katekismus mengajarkan bahwa kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi nyata dalam: 1) diri imamnya; 2) secara khusus dalam rupa roti dan anggur; 3) dalam sabda Allah (bacaan-bacaan Kitab Suci); 4) dalam jemaat yang berkumpul (lih. KGK 1088). Nah sabda Allah yang dimaksud di sini adalah bacaan di dalam Liturgi Sabda, dan ini termasuk bacaan Mazmur pada hari itu.
Selanjutnya tentang pembahasan topik ini, klik di sini.
2. Ordinarium digantikan dengan lagu- lagu lain dengan teks yang berbeda, yang tidak sama dengan yang sudah disahkan KWI.
RS 59    Di sana-sini terjadi bahwa Imam, Diakon atau umat dengan bebas mengubahkan atau menggantikan teks-teks liturgi suci yang harus mereka bawakan. Praktek yang amat tidak baik ini harus dihentikan. Karena dengan berbuat demikian, perayaan Liturgi Suci digoyahkan dan tidak jarang arti asli liturgi dibengkokkan.
Seharusnya:
PUMR 393    Perlu diperhatikan pentingnya nyanyian dalam Misa sebagai bagian utuh dari liturgi. Konferensi Uskuplah yang berwenang mengesahkan lagu-lagu yang serasi, khususnya untuk teks-teks Ordinarium, jawaban dan aklamasi umat, dan untuk ritus-ritus khusus yang diselenggarakan dalam kurun tahun liturgi….
Rumusan Ordinarium merupakan pernyataan iman Gereja yang sifatnya baku, sehingga tidak selayaknya diubah-ubah atas kehendak pribadi.
3. Kurangnya saat hening.
Seharusnya:
PUMR 45    Beberapa kali dalam Misa hendaknya diadakan saat hening. Saat hening juga merupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda menurut makna bagian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat umat mawas diri, dan sesudah ajakan untuk doa pembuka umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang didengar. Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati.
Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.
PUMR 56    Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari. Selama Liturgi Sabda, sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung pada besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapkan sabda Allah, dengan dukungan Roh Kudus, dan untuk menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.
4. Diizinkannya seorang awam untuk berkhotbah/ memberikan kesaksian di dalam homili  (misalnya untuk mengisi homili Minggu Panggilan, homili di misa requiem, ataupun kesempatan khusus lainnya).
Seharusnya:
RS 64    Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari liturgi itu “pada umumnya dibawakan oleh Imam perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam….”
RS 66    Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh ada kekecualian untuk orang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun.
RS 74    Jika dipandang perlu bahwa kepada umat yang berkumpul di dalam gereja, diberi instruksi atau kesaksian tentang hidup Kristiani oleh seorang awam, maka sepatutnya hal ini dibuat di luar Misa. Akan tetapi jika ada alasan kuat, maka dapat diizinkan bahwa suatu instruksi atau kesaksian yang demikian disampaikan setelah Doa sesudah Komuni. Namun hal ini tidak boleh menjadi kebiasaan. Selain itu, instruksi atau kesaksian itu tidak boleh bercorak seperti sebuah homili, dan tidak boleh homili dibatalkan karena ada acara dimaksud.
RS 67 Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh berdasarkan misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta patokan hidup Kristiani, bertitik tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang bagian umum (Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dala Misa ataupun suatu perayaan gerejawi lain…..
5. Pemberian Salam Damai yang dilakukan terlalu meriah dan panjang, sampai imam turun dari panti imam.
Seharusnya:
RS 71    Perlu mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, untuk saling menyampaikan salam damai menjelang Komuni. Sesuai dengan tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimaksudkan sebagai rekonsiliasi atau pengampunan dosa, melainkan mau menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus. Segi rekonsiliasi antara umat yang hadir lebih diungkapkan dalam upacara tobat pada awal Misa, khususnya dalam rumus pertama.
RS 72    “Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang pantas.” “Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu….”
Salam Damai perlu dipertahankan, hanya hal dinyanyikan atau tidak, itu tidak secara eksplisit dinyatakan di dalam dokumen Gereja. Bagi yang memilih untuk menyanyikannya, dasarnya karena menganggap bahwa nyanyian itu merupakan cara menyampaikan damai. Sedangkan yang tidak menyanyikannya, kemungkinan menganggap bahwa hal dinyanyikannya Salam Damai tidak eksplisit disyaratkan dalam dokumen Gereja, dan karena jika dinyanyikan malah dapat mengganggu pusat perhatian saat itu yang seharusnya difokuskan kepada Kristus. Jika kelak ingin diseragamkan, maka pihak KWI-lah yang berwenang untuk menentukan apakah Salam Damai ini akan dinyanyikan atau tidak dinyanyikan.

Pelanggaran dalam hal penerimaan Komuni:

1. Umat mencelupkan sendiri Hosti ke dalam piala anggur.
Seharusnya:
RS 94     Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus.
RS 104     Umat yang menyambut, tidak diberi izin untuk mencelupkan sendiri hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia menerima hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya…..
PUMR 160     Umat tidak diperkenankan mengambil sendiri roti kudus atau piala, apalagi saling memberikannya antar mereka. Umat menyambut entah sambil berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan ketentuan Konferensi Uskup…
Pada hakekatnya Komuni adalah sesuatu yang “diberikan” oleh Kristus: “Terimalah dan makanlah inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi-Mu…. Terimalah dan minumlah, inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu….”. Jadi bukan sesuatu yang dapat diambil sendiri.
2. Pengantin saling menerimakan Komuni.
Seharusnya, tidak boleh:
RS 94     Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga penyimpangan di mana kedua mempelai saling menerimakan Komuni dalam misa perkawinan.
Ekaristi kudus adalah kurban Kristus, dan diberikan oleh Kristus (melalui imam ataupun petugas pembagi Komuni tak lazim yang diberi tugas tersebut), sehingga bukan untuk saling diterimakan oleh umat sendiri.
3. Umat yang menerima Komuni dengan tangan, tidak melakukan sikap penghormatan sebelum menerimanya.
Seharusnya:
PUMR 160    ….Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat yang serasi, sebagaimana ditentukan dalam kaidah- kaidah mengenai komuni.
Adalah baik jika sesaat sebelum menyambut Komuni umat menundukkan kepala, tanda penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir di dalamnya.
4. Patena sudah jarang digunakan.
Seharusnya:
RS 93    Patena Komuni untuk umat hendaknya dipertahankan, demi menghindarkan bahaya jatuhnya hosti kudus atau pecahannya.
5. Umat tidak menjawab “Amin” pada perkataan Romo, “Tubuh Kristus” sebelum menerima hosti.
Seharusnya:
PUMR 287    Kalau komuni dua rupa dilaksanakan dengan mencelupkan hosti ke dalam anggur, tiap penyambut, sambil memegang patena di bawah dagu, menghadap imam yang memegang piala. Di samping imam berdiri pelayan yang memegang bejana kudus berisi hosti. Imam mengambil hosti, mencelupkan sebagian ke dalam piala, memperlihatkannya kepada penyambut sambil berkata: Tubuh dan Darah Kristus. Penyambut menjawab: Amin, lalu menerima hosti dengan mulut, dan kemudian kembali ke tempat duduk.
6. Petugas Pembagi Komuni Tak Lazim (atau dikenal umat dengan istilah pro-diakon) membagi Komuni, Pastor malah duduk.
Seharusnya:
RS 154    Seperti  sudah dinyatakan, “pelayan yang selaku pribadi Kristus dapat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah Imam yang ditahbiskan secara sah” (lih. KHK Kan 900, 1) Karena itu, istilah “pelayan Ekaristi: hanya dapat diterapkan pada seorang Imam. Di samping itu, berdasarkan pentahbisan suci, pelayan-pelayan yang lazim untuk memberi komuni adalah Uskup, Imam dan Diakon….
RS 151    Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan tak lazim dalam perayaan liturgi. Permohonan akan bantuan yang demikian bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan, karena kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat…..
RS 152    Jabatan- jabatan yang semata- mata pelengkap ini jangan dipergunakan untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh para Imam demikian rupa…..
RS 157    ….Tidak dapat dibenarkan kebiasaan para Imam yang, walaupun hadir pada perayaan itu, tidak membagi komuni dan menyerahkan tugas ini kepada orang-orang awam.

Pelanggaran dalam hal musik liturgis:

1. Dinyanyikannya lagu-lagu pop rohani dalam perayaan Ekaristi
Seharusnya:
Tra le Sollecitudini  1    Musik liturgis (sacred music)… mengambil bagian dalam ruang lingkup umum liturgi, yaitu kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pengajaran umat beriman. Musik liturgis memberi kontribusi kepada keindahan dan keagungan upacara gerejawi, dan karena tujuan prinsipnya adalah untuk melingkupi teks liturgis dengan melodi yang cocok demi pemahaman umat beriman, tujuan utamanya adalah untuk menambahkan dayaguna-nya kepada teks, agar melaluinya umat dapat lebih terdorong kepada devosi dan lebih baik diarahkan kepada penerimaan buah-buah rahmat yang dihasilkan oleh perayaan misteri-misteri yang paling kudus tersebut.
Tra le Sollecitudini  2     Karena itu musik liturgis (sacred music) … harus kudus, dan harus tidak memasukkan segala bentuk profanitas, tidak hanya di dalam musik itu sendiri, tetapi juga di dalam cara pembawaannya oleh mereka yang memainkannya.
Tra le Sollecitudini  5    Gereja telah selalu mengakui dan menyukai kemajuan dalam hal seni, dan menerima bagi pelayanan agama semua yang baik dan indah yang ditemukan oleh para pakar yang ada sepanjang sejarah — namun demikian, selalu sesuai dengan kaidah- kaidah liturgi. Karena itu musik modern juga diterima Gereja, sebab musik tersebut menyelesaikan komposisi dengan keistimewaan, keagungan dan kedalaman, sehingga bukannya tak layak bagi fungsi-fungsi liturgis. Namun karena musik modern telah timbul kebanyakan untuk melayani penggunaan profan, maka perhatian yang khusus harus diberikan sehubungan dengan itu, agar komposisi musik dengan gaya modern yang diterima oleh Gereja tidak mengandung apapun yang profan, menjadi bebas dari sisa-sisa motif yang diangkat dari teater, dan tidak disusun bahkan di dalam bentuk- bentuk teatrikal seperti cara menyusun lagu- lagu profan.
Harus dibedakan bahwa untuk lagu-lagu liturgis, lagu bukan hanya sebagai ungkapan perasaan tetapi ungkapan iman (lex orandi lex credendi).
2. Adanya tari- tarian yang menyerupai pertunjukan/ performance diadakan dalam perayaan Ekaristi, kemudian diikuti dengan tepuk tangan umat.
Seharusnya:
RS 78     … Perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik.
Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi 17    …. Di kalangan sejumlah suku, nyanyian secara naluriah terkait dengan tepuk tangan, gerak tubuh secara ritmis, dan bahkan tarian. Ini semua adalah bentuk lahiriah dari gejolak batin dan merupakan bagian dari tradisi suku ….Jelas, itu hendaknya menjadi ungkapan tulus doa jemaat dan tidak sekedar menjadi tontonan…
Paus Benediktus XVI dalam The Spirit of the Liturgy (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 198: “Adalah suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi “menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin ditarikan oleh grop dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut pandang profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan. Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi  telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius. Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai bentuk gelitik religius.”
Kardinal Arinze menjelaskannya demikian: bahwa pada budaya- budaya tertentu (yaitu di Afrika dan Asia), tarian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cara penyembahan, namun gerakan ini adalah ‘graceful movement‘ untuk menunjukkan suka cita dan penghormatan, dan bukan ‘performance‘. Dalam budaya ini, gerakan tersebut dapat diadakan dalam prosesi perayaan Ekaristi, namun bukan sebagai pertunjukan. Sedangkan di tempat- tempat lain di mana tarian tidak menjadi bagian dari penyembahan/ penghormatan (seperti di Eropa dan Amerika) maka memasukkan tarian ke dalam perayaan Ekaristi menjadi tidak relevan. Untuk mendengarkan penjelasan Kardinal Arinze tentang hal ini, silakan klik.
3. Band masuk gereja dan digunakan sebagai alat musik liturgi.
Seharusnya:
Tra le Sollecitudini 19    Penggunaan alat musik piano tidak diperkenankan di gereja, sebagaimana juga alat musik yang ribut atau berkesan tidak serius (frivolous), seperti drum, cymbals, bells dan sejenisnya.
Tra le Sollecitudini 20    Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan organ.
Maka diperlukan izin khusus untuk menggunakan alat-alat musik lain, terutama jika alat tersebut dapat memberikan efek ribut/ keras, dan berkesan profan/ tidak serius.

Beberapa Pertanyaan tentang Liturgi:

1. Mengenai musik liturgi, apa seharusnya alat musik yang digunakan? Bolehkah menggunakan organ dengan tambahan suara alat musik lain?
Bila mengacu kepada Sacrosanctum Concilium 120, alat musik yang sebaiknya digunakan adalah organ pipa. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan penggunaan alat musik lain, sepanjang disetujui oleh pihak otoritas Gereja, dan asalkan sesuai untuk digunakan dalam musik sakral.
SC 120    “Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke surga. Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.”
Paus Pius XII mengeluarkan dokumen tentang Musik Liturgis yang berjudul Musicae Sacrae (MS), dan secara khusus menyebutkan tentang hal ini demikian:
MS 59    “Selain organ, alat-alat musik lain dapat digunakan untuk memberikan bantuan besar dalam mencapai maksud yang tinggi dari musik liturgi, asalkan mereka tidak memainkan apapun yang profan, yang berisik atau hingar bingar dan tidak bertentangan dengan pelayanan sakral atau martabat tempat kudus. Di antara alat-alat musik ini, biola dan alat-alat musik lainnya yang menggunakan cekungan (bow) adalah baik sebab ketika dimainkan sendiri atau dengan alat musik senar lainnya, alat- alat musik ini mengekspresikan perasaan suka cita dan dukacita dalam jiwa dengan kekuatan yang tak dapat dilukiskan…”
Sedangkan tentang hal alat musik ini, Rm. Bosco da Cunha dari Komisi Liturgi KWI mengatakan:
“KWI masih dalam proses berusaha mengaktualisasi dokumen Sacrosanctum Concilium Konsili Vatikan II; KWI tidak gegabah. Usaha penelitian dan percobaan alat musik tradisional aneka suku bangsa sudah mulai dengan “Pusat Musik Liturgi” Yogyakarta dipimpin Romo Karl Edmund Prier SJ sejak 1980an namun masih berlangsung”.
Beliau menyarankan bagi yang berminat mengetahui lebih lanjut untuk mengunjungi PML Yogyakarta di Jl. Abubakar Ali Kotabaru Yogyakarta untuk mengetahui studio dan showroom karya-karya musik liturgi inkulturatif.
2. Bila dikaitkan dengan adaptasi-adaptasi yang muncul di Sacrosanctum Concilium, bagaimana batasan-batasannya agar tidak mengontradiksi dokumen-dokumen Gereja lainnya (dalam hal penentuan musik liturgi)?
Musicae Sacrae 60    “Sebab jika musik itu tidak profan atau bertentangan dengan kesakralan tempat dan fungsi dan tidak berasal dari keinginan untuk mencapai efek-efek yang luar biasa dan tidak lazim, maka gereja-gereja kita harus menerimanya, sebab mereka dapat menyumbangkan dalam cara yang tidak kecil terhadap keagungan upacara-upacara sakral, dapat mengangkat pikiran kepada hal-hal yang lebih tinggi dan dapat menumbuhkan devosi yang sejati dari jiwa.” (lih. MD 193)
Maka, nampaknya yang perlu dijadikan patokan adalah prinsipnya, yaitu:
1) Tidak memasukkan unsur profanitas dalam musik liturgis;
2) Musik itu tidak menghasilkan efek suara yang luar biasa dan tak lazim
3) Musik itu dapat membantu mengangkat pikiran kepada hal- hal yang lebih tinggi:
Apakah membantu ke-empat hal ini: penyembahan (worship/ adoration), syukur (thanksgiving), pertobatan (contrition),     permohonan (supplication).
4) Menggunakan musik-musik yang sudah mendapat persetujuan dari otoritas Gereja (ada Nihil Obstat dan Imprimatur);
5) Mengacu kepada ketentuan yang sudah pernah secara eksplisit ditentukan oleh otoritas Gereja.
3. Bolehkah choir (koor) terdiri dari perempuan?
Walaupun di dokumen yang dikeluarkan oleh Paus Pius X, Tra le Sollecitudini 13,14 (1903) dikatakan bahwa untuk koor anggotanya harus laki-laki- mungkin karena hal ini merupakan tradisi Gereja sejak zaman dulu; namun ketentuan ini kemudian diperbaharui di dokumen berikutnya tentang Musik Liturgi yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII, Musicae Sacrae, demikian:
MS 74     Ketika tidak mungkin diperoleh sekolah paduan suara (Scholae Cantorum) atau di mana tidak ada cukup anak laki-laki untuk koor, diperbolehkan bahwa “kelompok pria dan wanita atau anak-anak perempuan, yang ditempatkan di luar tempat kudus (sanctuary) yang terpisah untuk penggunaan kelompok ini secara khusus, dapat menyanyikan teks-teks liturgi pada saat Misa Agung, sepanjang para pria dipisahkan dari para wanita dan anak- anak perempuan dan segala yang tidak pantas dihindari….
4. Perlukah kita ikut membungkuk setiap saat seorang imam membungkuk dalam Perayaan Ekaristi?
Tidak perlu. Yang ditulis dalam Tata Perayaan Ekaristi adalah, umat membungkuk pada waktu Ritus Pembuka ketika Imam dan Pelayan lain menghormati Altar, dan pada sesudah kata-kata Konsekrasi atas roti dan anggur, ketika Imam berlutut; dan pada saat Credo (syahadat) yaitu pada perkataan, “[Yesus Kristus] yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria”.
5. Bolehkah imam menambah hanya beberapa kata atau bagian dalam sebuah Perayaan Ekaristi?
Jika ada titik-titik (….) boleh disebutkan nama orang yang didoakan (doa bagi orang yang masih hidup maupun orang yang sudah meninggal) seperti dalam Doa Syukur Agung pertama.
RS 51    ….”Tidak ada toleransi terhadap imam-imam yang merasa berhak menyusun Doa Syukur Agungnya sendiri” atau mengubahkan teks-teks yang sudah disahkan oleh Gereja atau memperkenalkan teks-teks lain, yang telah dikarang oleh pribadi-pribadi tertentu.
6. Bagaimana seharusnya kostum pelayan altar? Apakah betul pelayan altar putri seharusnya mengenakan alba dan mengapa?
Apakah wanita ideal untuk menjadi pelayan altar walaupun diperbolehkan?
PUMR 339    Akolit, lektor dan pelayan awam lain boleh mengenakan alba atau busana lain yang disahkan oleh Konferensi Uskup untuk wilayah gerejawi yang bersangkutan.
RS 47    Sangat dianjurkan untuk mempertahankan kebiasaan yang luhur yakni pelayanan altar oleh anak laki-laki atau pemuda, biasanya disebut pelayan Misa, suatu tugas yang dilaksanakannya seturut cara akolit. Hendaknya mereka diberi katekese tentang fungsi mereka sesuai dengan daya tangkap mereka. Perlu diingat bahwa berabad-abad lamanya dari amat banyak anak seperti ini telah muncul banyak pelayan tertahbis….. Anak perempuan atau ibu-ibu boleh diterima untuk melayani altar, sesuai dengan kebijakan Uskup diocesan dan dengan memperhatikan norma-norma yang sudah ditetapkan.
7. Apakah inkulturasi liturgi memperbolehkan penggunaan berbagai macam alat musik di luar organ pipa?
Hal ini dimungkinkan. Pimpinan Gereja yang mengambil keputusan untuk menggunakan alat- alat musik lain, hendaknya dalam proses adaptasi- inkulturasi membuat penelitian untuk mengetahui apakah alat musik tersebut digunakan dalam ibadat religius menurut budaya setempat dan sungguh membantu umat beriman mengangkat hati kepada Tuhan untuk memuji dan menyembahnya? Bisa saja alat musik yang sama digunakan baik dalam upacara keagamaan dan dalam perayaan profan, tetapi harus diperhatikan perbedaan dalam cara menggunakannya. Ada nada dan melodi yang khas dalam upacara keagamaan dan dalam acara profan. Seperti pada alat tifa dalam budaya orang Papua Selatan, ada bunyi dan cara memukul yang khas dalam ibadat religius, yang berbeda dengan bunyi dan cara memukul tifa tersebut jika digunakan untuk kegiatan- kegiatan yang profan saja.
PUMR 393     …. Demikian pula, Konferensi Uskuplah yang berwenang memutuskan gaya musik, melodi, dan alat musik yang boleh digunakan dalam ibadat ilahi; semua itu sejauh serasi, atau dapat diserasikan dengan penggunaannya yang bersifat kudus.

Kesimpulan: Mengapa perlu memperhatikan norma-norma Liturgi dan menghindari penyelewengannya?

Adalah penting kita ketahui bersama, bahwa “Norma-norma liturgi Ekaristi dimaksudkan untuk mengungkapkan dan melindungi misteri Ekaristi dan juga menjelaskan bahwa Gerejalah yang merayakan sakramen dan pengorbanan yang agung. Sebagaimana yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II, “Norma-norma ini adalah ungkapan konkret dari kodrat gerejawi otentik mengenai Ekaristi; inilah maknanya yang terdalam. Liturgi tak pernah menjadi milik perorangan, baik dari selebran maupun komunitas, tempat misteri-misteri dirayakan.”[6] Ini berarti bahwa “… para imam yang merayakan Misa dengan setia seturut norma-norma liturgi, dan komunitas-komunitas yang mengikuti norma-norma itu, dengan tenang namun lantang memperagakan kasih mereka terhadap Gereja.[7]
Adanya penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam liturgi seringkali berhubungan dengan salah persepsi tentang makna ‘kebebasan’; dan hal ini tidak menuju kepada pembaharuan sejati yang diharapkan oleh Konsili Vatikan II. Karena penyimpangan ini dapat mengakibatkan merosotnya/ hubungan yang perlu antara hukum doa dengan hukum iman, yaitu bahwa doa harus merupakan ungkapan iman (lex orandi, lex credendi).
Akhirnya, marilah kita berpartisipasi secara aktif dan sadar setiap kali kita mengikuti perayaan liturgi, dan juga dengan memperhatikan dan melaksanakan ketentuan- ketentuannya, sebagai tanda bukti bahwa kita mengasihi Kristus dan Gereja-Nya.

CATATAN KAKI:
  1. lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1069 []
  2. lih. Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concillium 7 []
  3. lih. KGK 1070, SC 7 []
  4. Paus Pius XII, Mediator Dei 20 []
  5. Rm. Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi, Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), p.22 []
  6. Ecclesia de Eucharistia, 52 []
  7. Ibid., lih. Redemptoris Sacramentum, Lampiran, 2 []
 sumber : http://katolisitas.org/8757/sekilas-makna-liturgi-dan-beberapa-pelanggaran-liturgi

Ekaristi adalah Komuni Kudus

Posted by OMK Santo Michael On 18.26 No comments

“Kemesraan ini janganlah cepat berlalu”

“Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini, ingin kukenang selalu
Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu
Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu….”
Lagu Iwan Fals ini mungkin akrab di telinga kita. Mungkin karena begitu tepat liriknya mewakili perasaan kita, maka lagu ini begitu populer dan mudah diingat di luar kepala. Ya, memang, kita ingin selalu dekat dengan orang yang kita kasihi.
Inilah yang juga menjadi kehendak Tuhan Yesus bagi kita umat-Nya yang dikasihi-Nya. Yesus ingin selalu hadir di tengah kita, dekat dengan kita, bahkan menjadi satu dengan kita. Kristus menghendaki agar kita selalu mengenang-Nya, dengan mengingat kasih-Nya yang terbesar yang diberikan kepada kita, saat Ia memberikan Tubuh dan Darah-Nya untuk menebus dosa-dosa kita. Pengorbanan-Nya yang tak ternilai harganya ini menjadi tanda cinta-Nya yang tak terbatas kepada Gereja-Nya, yaitu kita semua, anggota- anggota Tubuh-Nya. Oleh kuasa Roh Kudus-Nya, Kristus menghadirkan kembali kurban ini di dalam Ekaristi, untuk maksud yang mulia ini: supaya kita dapat dipersatukan dengan Dia dan mengambil bagian di dalam kehidupan-Nya sendiri; dan dengan demikian sedikit demi sedikit, kita diubah untuk menjadi lebih serupa dengan-Nya.

Sakramen Ekaristi adalah sakramen cinta kasih

Maka, Ekaristi yang mempersatukan kita dengan Kristus, pertama- tama adalah sakramen cinta kasih Allah. Sebab Ekaristi menyatakan ‘kasih yang lebih besar’ yang disebutkan dalam Injil Yohanes, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).[1] Kristus begitu mengasihi kita sahabat-sahabat-Nya, sehingga Ia rela menyerahkan hidup-Nya sendiri, agar kita dapat hidup di dalam Dia. Dalam Ekaristi inilah, kita tidak hanya memperingati kasih pengorbanan Kristus, tetapi juga dapat mengalami kasih-Nya yang tidak terbatas itu, saat kita menyambut Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya ke dalam tubuh, darah, jiwa dan kemanusiaan kita. Begitu besar dan dalamnya anugerah ini, sehingga layaklah kita menyambutnya dengan ucapan syukur kepada Allah. Dan memang inilah arti kata ‘Ekaristi’, yaitu: ucapan syukur kepada Allah.[2] Betapa kita sungguh bersyukur, karena kasih-Nya yang mempersatukan kita dengan Dia.
Oleh karena kasih Allah-lah yang pertama-tama kita rayakan dalam Ekaristi, maka Gereja mengajarkan bahwa sakramen Ekaristi adalah “sakramen cinta kasih, lambang kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paska, di mana di dalamnya Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikaruniai jaminan kemuliaan.”[3]

“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu”

Kristus menggambarkan persatuan antara kita dengan-Nya sebagai persatuan antara ranting-ranting dengan pokok anggur.
Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat bertumbuh dari dirinya sendiri, demikian juga kamu tidak dapat bertumbuh jika kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamu ranting-rantingnya. Barang siapa tinggal di dalam Aku, ia akan berbuah banyak. Sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15:4-5)
Pernahkah kita renungkan, apakah yang dimaksud dengan “tinggal di dalam” Tuhan Yesus? Mungkin banyak orang mengartikannya, kita tinggal dalam Yesus kalau kita rajin berdoa, membaca Sabda Tuhan, dan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Ya, semua itu memang mendekatkan kita kepada Tuhan, dan membuat kita hidup di dalam ajaran-Nya.
Namun demikian, secara khusus, Tuhan Yesus menjelaskan secara eksplisit tentang apakah yang dimaksudkan-Nya dengan “tinggal di dalam”-Nya. Kata asli “tinggal” menurut bahasa Yunani adalah μένω, ménō; dan kata yang sama ini digunakan oleh Yesus sewaktu mengajarkan tentang Roti Hidup. Yesus bersabda:
“Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yoh 6:56-57)
Melalui ayat ini Kristus menjelaskan cara yang dikehendaki-Nya, agar Ia dapat tinggal di dalam kita, yaitu dengan kita makan daging-Nya dan minum darah-Nya. Saat Yesus mengajarkan hal ini, banyak orang yang tidak percaya, atau lebih tepatnya, sulit mempercayai ajaran-Nya, sehingga mereka meninggalkan Dia. Namun Yesus tidak mengubah ajaran-Nya, malah Ia bertanya kepada para rasul-Nya, kalau-kalau mereka juga mau pergi meninggalkan Dia. Syukurlah, Rasul Petrus yang mewakili para rasul, menjawab dengan iman, bahwa mereka tetap percaya kepada-Nya, sebab Kristuslah sang empunya sabda kebenaran (lih. Yoh 6:66-69). Iman para rasul inilah yang dilestarikan terus oleh Gereja Katolik,  secara khusus dalam perayaan Ekaristi, yang merayakan kehadiran Kristus di dalam Sabda-Nya dan di dalam perjamuan kudus-Nya.

Komuni Kudus mempersatukan kita dengan Kristus

Sebagaimana perjamuan mengakrabkan seseorang dengan yang lain, demikianlah saat kita menerima Kristus dalam Ekaristi, kita menjadi akrab dan digabungkan dengan Kristus. Perjamuan ini menjadi kenangan yang hidup akan kasih Tuhan Yesus yang demikian besar kepada kita, sampai Ia mau wafat bagi kita. Kristus memandang kita sebagai pemberian Allah Bapa kepada-Nya, sehingga Ia mau selalu tinggal bersama-sama dengan kita (lih. Yoh 17:24). Maka Yesus mengaruniakan Ekaristi kepada kita Gereja-Nya, untuk mempersatukan kita dengan Dia[4], sampai kepada akhir zaman (lih. Mat 28:19-20). Karena di dalam Ekaristi terkandunglah keseluruhan harta rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri, maka Ekaristi disebut sebagai ‘sumber dan puncak kehidupan Kristiani’.[5] Demikian juga, karena di dalam Kristus dan misteri Paska-Nya, Allah menyatakan puncak karya keselamatan-Nya, maka perayaan Ekaristi yang menghadirkan kembali misteri Paska Kristus itu secara sakramental, juga merupakan puncak karya Allah untuk menguduskan dunia dan puncak penyembahan umat beriman kepada Kristus, dan melalui Kristus, kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus.[6]
Untuk menangkap kedalaman makna persatuan dan kebersamaan ini, kita perlu merenungkan kedekatan kita dengan orang- orang yang kita kasihi di dunia ini; mungkin saat sebagai orang tua, kita mendekap anak kita, atau kebersamaan antara suami dan istri, atau kedekatan dengan seorang sahabat. Ekaristi adalah persatuan yang melampaui semuanya ini, sebab Ekaristi adalah persatuan dengan Kristus dan melalui Kristus, kita disatukan dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Persatuan kita dengan Kristus inilah yang disebut sebagai “Komuni kudus”, yang menjadikan kita mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah-Nya[7] dan dengan demikian, juga mengambil bagian di dalam hidup ilahi-Nya. St. Ignatius dari Antiokhia mengatakan dengan indahnya tentang persatuan kita dengan Kristus ini, “Pada pertemuan-pertemuan ini [perayaan Ekaristi], kamu … memecah roti yang satu, yang adalah obat kekekalan, dan penawar racun yang menyingkirkan kematian, namun menghasilkan hidup di dalam kesatuan dengan Yesus Kristus.”[8] Ya, persekutuan dengan Tubuh dan Darah Kristus, memperteguh persatuan kita dengan Kristus, mengampuni dosa-dosa ringan yang kita lakukan, dan melindungi kita dari dosa berat, sebab dengan menerima sakramen ini, ikatan kasih antara kita dan Kristus diperkuat, dan dengan demikian kesatuan Gereja juga diperteguh.[9]

Ekaristi mempersatukan kita dengan sesama anggota Kristus

Selain mempersatukan kita dengan Kristus, Ekaristi juga mempersatukan kita dengan sesama anggota Tubuh Kristus. Oleh karena kita menerima Kristus yang satu dan sama, kita dipersatukan di dalam Dia yang adalah Sang Kepala kita (lih. Kol 1:18; Ef 5:23). Rasul Paulus mengajarkan, “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” (1Kor 10:15-16). Ekaristi diberikan sebagai kurban Tubuh dan Darah-Nya, agar dengan mengambil bagian di dalamnya, kita dapat bersatu dengan Kristus dan dengan sesama anggota-Nya menjadi satu Tubuh.[10]
Kita manusia diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi semakin menyerupai Dia, yaitu supaya semakin dapat mengasihi; sebab Tuhan adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16). Kasih itu mempersatukan, oleh karena itu sebagai manusia kita menginginkan persatuan, baik dengan Tuhan, maupun dengan sesama kita. Kristus- juga mempunyai kerinduan yang sama: bahwa Ia ingin tinggal bersama semua orang yang percaya kepada-Nya (lih. Yoh 6:56), namun juga Ia ingin agar semua yang percaya kepada-Nya menjadi satu, “Aku berdoa ….juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku …. supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh 17:21). Maka, persatuan kita dengan Kristus, sepantasnya juga membawa persatuan kita dengan semua orang yang percaya kepada-Nya; sebab hal ini merupakan kehendak Kristus sendiri.
Karena Kristus hanya satu dan Tubuh-Nya juga hanya satu, maka satu jugalah kita semua anggota-anggota-Nya, baik Gereja yang masih berziarah di dunia ini, Gereja yang sudah berjaya di surga, maupun Gereja yang masih dimurnikan di Api Penyucian. Karena semua anggota- anggota Kristus dipersatukan oleh kasih Kristus yang melampaui maut (lih. Rom 8:38-39). Itulah sebabnya di dalam Komuni kudus ini kita mengingat juga persekutuan dengan para kudus di surga, terutama Bunda Maria;[11] dan kita dapat mengajukan intensi doa permohonan bagi saudara- saudari kita yang telah mendahului kita, yaitu mereka yang ‘telah meninggal di dalam Kristus namun yang belum sepenuhnya dimurnikan’ sehingga mereka dapat memasuki terang dan damai Kristus[12] yang kekal dalam kerajaan Surga.

Komuni kudus memelihara hidup ilahi

Persatuan kita dengan Kristus dalam Komuni kudus, “melindungi, menambah, dan membaharui pertumbuhan kehidupan rahmat yang diterima dalam Pembaptisan.”[13] Kita mengetahui bahwa satu berkat tak ternilai dari Pembaptisan adalah: melaluinya kita memperoleh hidup ilahi dan diangkat menjadi anak-anak Allah.[14] Namun seperti halnya dalam kehidupan jasmani kita memerlukan makanan untuk dapat bertahan hidup, demikian pula, dalam kehidupan rohani. Kita memerlukan makanan rohani agar dapat tetap hidup dan bertumbuh secara rohani. Makanan rohani ini adalah Sabda Allah (lih. Mat 4:4) dan Ekaristi (Yoh 6:53-58), yang keduanya kita terima dalam perayaan Ekaristi.
Demikianlah Sabda Tuhan Yesus:
Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (Mat 4:4)
Maka kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6:53-58)

Komuni kudus bukti kasih Allah dan pengorbanan-Nya

Maka di atas segalanya, Komuni kudus merupakan bukti cinta kasih Allah. Mungkin ada baiknya kita memeriksa diri sendiri, akan apakah yang ada di pikiran kita pada saat kita melihat hosti yang diangkat oleh imam, saat ia, in persona Christi, mengucapkan perkataan konsekrasi, “Inilah Tubuhku yang dikurbankan bagimu….” (lih. Luk 22:19; 1Kor 11:24). Sesungguhnya, tak ada kata yang mampu melukiskan, betapa dalamnya misteri kasih Allah yang tiada terbatas ini. Kristus yang adalah Allah, telah mengosongkan diri-Nya dengan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi manusia. Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Ia merendahkan diri-Nya, sampai wafat di kayu salib (lih. Flp 2:7-8). Ia membuktikan kasih-Nya yang terbesar, dengan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita, sahabat-sahabat-Nya (lih. Yoh 15:13). Kini setelah kebangkitan-Nya, Ia masih terus merendahkan diri-Nya, sampai mau hadir di dalam sepotong roti, agar setiap orang yang tergabung di dalam Gereja-Nya, bahkan seorang anak kecil sekalipun, dapat menyambut-Nya, tanpa perlu merasa takut.
Selain kasih dan kerendahan hati, Komuni kudus mengajarkan kepada kita makna pengorbanan. Dengan melihat teladan pemberian diri Kristus kepada kita, maka kita juga didorong untuk memberikan diri kita kepada orang lain, terutama mereka yang kecil, sakit dan miskin. Kitapun dipanggil untuk mengasihi dan mengampuni sesama kita, karena Kristus lebih dahulu mengasihi dan mengampuni kita. Korban Kristus menjadi saksi yang nyata bahwa pengampunan adalah sesuatu yang tidak mustahil dilakukan. Jika kita mau berkorban untuk mengampuni sesama, kita akan dapat memperoleh buahnya, yaitu kasih yang memulihkan dan mempersatukan. Itulah sebabnya keluarga Kristiani, termasuk di dalamnya pasangan suami istri, perlu menimba kekuatan dari Ekaristi; sebab kesatuan antara mereka dengan Kristus dalam Komuni kudus akan memampukan mereka untuk terus saling mengasihi dan mengampuni; sehingga kesatuan kasih mereka selalu dikuatkan.

Komuni kudus = ‘preview‘ persatuan kekal kita dengan Allah di surga kelak

Karena tujuan akhir kita di Surga kelak adalah persatuan dengan Tuhan, maka Komuni kudus yang kita terima di dunia ini adalah semacam kenyataan yang akan mencapai kesempurnaannya di surga kelak. Di Surga memang kita tidak perlu lagi menerima Komuni dalam rupa hosti; sebab pada saat itu kita telah memandang Allah sebagaimana adanya Dia (lih. 1 Yoh 3:2), sehingga aneka gambaran ataupun simbol tidak lagi diperlukan. Di Surgalah tercapai kesempurnaan di mana kita dapat sepenuhnya bersatu dengan Allah yang telah menciptakan kita manusia dalam kesatuan dengan keseluruhan umat manusia.
Maka Ekaristi menuntun kita semua untuk mencapai tujuan akhir, di mana persekutuan dengan Allah dan sesama mencapai kesatuan yang sempurna, yaitu “keadaan persatuan dengan Kristus, yang pada saat yang sama membuatnya mungkin untuk masuk ke dalam kesatuan yang hidup dengan Allah sendiri, sehingga Tuhan dapat menjadi semua di dalam semua (1Kor 15:28).”[15] Katekismus mengajarkan bahwa dengan Komuni kudus kita menerima rahmat ilahi, dan dengan demikian Ekaristi merupakan antisipasi kemuliaan surgawi.[16] Dengan merayakan Ekaristi, kita menantikan dengan rindu kedatangan Penyelamat kita Yesus Kristus, untuk mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya[17]. “Setiap kali misteri ini dirayakan, terlaksanalah karya penebusan kita (LG 3) dan kita memecahkan “satu roti yang merupakan obat kebakaan, penangkal kematian, dan santapan yang membuat kita hidup selama-lamanya dalam Yesus Kristus” (Ignasius dari Antiokia, Eph. 20,2).”[18]
Betapa perlunya kita mengingat hal ini, setiap kali kita menerima Komuni Kudus: bahwa dengan menerima Komuni ini kita menerima ‘obat rohani’ yang menghantar kita ke Surga.

Bagaimana agar kita dapat semakin menghayati Komuni kudus?

Mengingat begitu dalamnya makna Komuni kudus, maka kita perlu mengetahui sedikitnya tiga hal, agar kita dapat semakin menghayatinya:

1. Mempersiapkan diri sebelumnya

Persiapan diri ini yang dimaksud di sini adalah: membaca dan merenungkan bacaan Kitab Suci pada hari itu, hening di sepanjang jalan menuju ke gereja, datang lebih awal, berpuasa 1 jam sebelum menyambut Ekaristi, memeriksa batin: jika dalam keadaan dosa berat, melakukan pengakuan dosa dalam sakramen Tobat sebelum menerima Ekaristi.[19] Selanjutnya, penting agar kita masuk dalam suasana doa, mempersiapkan batin untuk masuk dalam hadirat Tuhan dan menyambut kehadiran-Nya dalam Komuni Kudus.  Maka mengimani dengan sungguh akan kehadiran Yesus dalam rupa roti dan anggur setelah konsekrasi, merupakan prasyarat utama dalam persiapan batin.
Sikap batin yang baik ini juga diwujudkan dengan tidak ‘ngobrol’, tidak menggunakan handphone ataupun ber-BBM, baik sebelum ataupun pada saat perayaan Ekaristi berlangsung. Sebab jika demikian dapat dipastikan bahwa hati kita tidak sepenuhnya terarah kepada Tuhan.

2. Bersikap aktif: tidak hanya menerima tapi juga memberi kepada Tuhan

St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa penyembahan yang sempurna mencakup dua hal, yaitu menerima dan memberikan berkat-berkat ilahi (lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theology, III, q.63, a.2.). Dalam perayaan Ekaristi, kita seharusnya tidak hanya menonton atau sekedar menerima, tetapi ikut mengambil bagian di dalam peran Kristus sebagai Imam Agung dan Kurban tersebut. Caranya adalah dengan turut mempersembahkan diri kita, beserta ucapan syukur, suka duka, pergumulan, dan pengharapan, untuk kita persatukan dengan kurban Kristus[20]. Kita membawa segala kurban persembahan kepada Tuhan terutama pada saat konsekrasi -saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Saat itu kurban kita disatukan dengan kurban Yesus. Kristus, satu-satunya Imam Agung dan Kurban yang sempurna, menyempurnakan segala penyembahan kita. Partisipasi kita secara aktif dalam kurban Kristus ini bukan saja dari segi ikut menyanyi, atau membaca segala doa yang tertulis, melainkan terutama partisipasi mengangkat hati dan jiwa untuk menyembah dan memuji Tuhan, dan meresapkan di dalam hati, segala perkataan doa yang diucapkan ataupun dinyanyikan.

3. Jangan memusatkan perhatian pada diri sendiri tetapi pada Kristus

Untuk menghayati makna Komuni kudus, kita harus memusatkan perhatian kepada Kristus, dan kepada apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita, yaitu: karena kasih-Nya kepada kita, Kristus rela wafat untuk menghapus dosa-dosa kita. Dengan memusatkan hati kepada Kristus, kita dapat melihat bahwa segala pergumulan kita tidak sebanding dengan penderitaan-Nya. Kitapun dikuatkan di dalam pengharapan, karena Roh Kudus yang sama, yang telah membangkitkan Kristus dapat pula membangkitkan kita dari dosa dan segala kesulitan kita.
Sungguh, kasih dan pengorbanan Kristus merupakan sumber kekuatan bagi kita untuk menjalani kehidupan ini. Karena itulah Gereja mengajarkan dalam The Enchiridion of Indulgences (Buku ketentuan mengenai Indulgensi) yang dikeluarkan oleh Vatikan tanggal 29 Juni 1968 (silakan klik), bahwa dengan merenungkan pengorbanan Yesus dan luka-luka-Nya di kayu salib sebagaimana dijabarkan dalam doa yang sederhana berikut ini, kita dapat memperoleh indulgensi. Demikianlah doanya yang mengambil dasar dari kitab Mazmur 22: 17-18:
Lihatlah,  Tuhan Yesus yang baik dan lemah lembut, En ego, o bone et dulcissime Iesu.
“Lihatlah, Tuhan Yesus yang baik dan lemah lembut, di hadapan-Mu aku berlutut dan dengan jiwa yang berkobar aku berdoa dan memohon kepada-Mu agar menanamkan di dalam hatiku, citarasa yang hidup akan iman, pengharapan dan kasih, pertobatan yang sungguh dari dosa-dosaku, dan kehendak yang kuat untuk memperbaikinya. Dan dengan kasih dan dukacita yang mendalam, aku merenungkan kelima luka-luka-Mu, yang terpampang di hadapanku, yang tentangnya Raja Daud, nabi-Mu, telah bernubuat tentang Engkau, ya Tuhan Yesus yang baik: “Mereka telah menembusi tanganku dan kakiku dengan paku; mereka telah menghitung semua tulangku….”
Amin.
Indulgensi Penuh dapat diperoleh dengan mengucapkan doa ini pada hari Jumat di masa Prapaska dan setiap hari di dalam dua minggu sebelum Paskah (masa Passiontide), ketika doa ini diucapkan setelah Komuni di hadapan gambar/ image Kristus yang tersalib. Pendarasan doa ini pada hari-hari lainnya, memperoleh indulgensi sebagian. Tentang persyaratan agar memperoleh indulgensi penuh adalah: 1) mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa; 2) menerima Komuni kudus; 3) berdoa bagi intensi Bapa Paus; 4) tidak ada keterikatan terhadap dosa, bahkan dosa ringan. Selanjutnya tentang Indulgensi, silakan klik di sini; dan tentang Bagaimana Agar Memperoleh Indulgensi, klik di sini.
Dengan mendoakan doa yang singkat di atas, kita diundang untuk meresapkan di dalam hati, bahwa Kristus telah memilih untuk menderita dan menyerahkan nyawa-Nya demi kasih-Nya kepada kita. Betapa kita harus bersyukur atas pengorbanan-Nya itu, yang menyelamatkan kita. Dengan melihat teladan kasih Kristus ini, semoga kita semakin mampu menghindari dosa, dan semakin terdorong untuk lebih mengasihi Tuhan dan sesama kita. Dengan melihat pengorbanan-Nya ini kita dikuatkan untuk juga mau berkorban dalam hidup kita sehari-hari, entah dalam lingkungan keluarga, pekerjaan maupun pergaulan kita dengan sesama.
Di samping itu, perhatian dan penghormatan kepada Kristus mendorong kita untuk berpakaian yang sopan dan layak ke gereja dan untuk sungguh berdoa pada saat kita mengucapkan doa-doa dalam perayaan Ekaristi. Kita harus mengupayakan agar jangan sampai kata-kata doa yang kita ucapkan merupakan kata-kata yang kosong, yang hanya di mulut saja, tetapi tidak sungguh keluar dari hati. Jangan sampai pikiran kita dipenuhi oleh banyak hal lain kecuali Tuhan sendiri. Kita perlu memohon rahmat Tuhan untuk hal ini, namun juga kita harus mengusahakannya, agar dengan sikap batin yang baik, kita dapat menerima buah-buah sakramen Ekaristi ini tanpa sia- sia.[21]

Kesimpulan

Ekaristi merupakan bukti nyata kasih Kristus yang terbesar, sebab melaluinya Kristus memberikan diri-Nya sendiri kepada kita sahabat-sahabat-Nya. Kasih Kristus ini demikian sempurna, sehingga tidak saja membawa kita mendekat kepada-Nya, namun lebih dari itu, mempersatukan kita dengan Dia. Maka pertama-tama, sakramen Ekaristi adalah sakramen cinta kasih Allah, yang diberikan-Nya agar Ia dapat bersatu dengan kita dan menyertai kita, Gereja-Nya. Oleh karena persatuan inilah, Ekaristi juga disebut sebagai Komuni Kudus. Komuni Kudus adalah cara yang dipilih oleh Tuhan Yesus untuk tinggal di dalam kita dan kita di dalam Dia. Dengan menyambut Komuni Kudus, kita mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah Kristus dan kita disatukan dengan Kristus dan dengan semua anggota-Nya[22]. Sesuai dengan janji Kristus sendiri, dengan menyambut Tubuh dan Darah Kristus ini, kita memperoleh hidup yang kekal (Yoh 6:54). Dengan digabungkannya kita dengan Kristus, kita memperoleh kekuatan baru untuk mengasihi dan mengampuni, sebagaimana Ia telah lebih dahulu mengasihi dan mengampuni kita. Oleh rahmat-Nya dalam Ekaristi, kita diubah untuk menjadi semakin serupa dengan Dia dalam hal mengasihi. Dalam kasih inilah kesatuan kita dengan Kristus dikukuhkan. Kesatuan antara kita dengan Kristus ini akan mencapai kesempurnaannya di surga kelak, saat Allah menjadi semua di dalam semua (lih. 1Kor 15:28).
Menyadari makna Komuni Kudus ini, mari kita tanyakan kepada diri kita masing- masing, sudahkah kita cukup mempersiapkan diri untuk menyambut-Nya? Mari kita berdoa memohon rahmat Tuhan, agar mata hati kita dicelikkan dan hati kita dikobarkan dalam setiap perayaan Ekaristi, sehingga kita dapat mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh kedua murid Yesus dalam perjalanan ke Emaus: “Mane nobiscum Domine, Tinggallah bersama dengan kami, ya Tuhan Yesus…” (lih. Luk 24:29).

Pertanyaan Permenungan:

  1. Bagaimana kita tahu bahwa Kristus memilih Komuni Kudus untuk bersatu dengan umat-Nya?
  2. Mengapa Ekaristi disebut sebagai ‘sumber dan puncak kehidupan Kristiani’?
  3. Apakah efek dari Komuni Kudus?
  4. Bagaimana Komuni Kudus menjadi bukti kasih Allah dan pengorbanan-Nya?
  5. Bagaimana cara kita untuk semakin menghayati Komuni Kudus?
  6. Doa seperti apakah yang baik untuk didoakan setelah menerima Komuni Kudus?
  7. Apakah hubungan antara Komuni Kudus dengan apa yang terjadi di Sorga?

CATATAN KAKI:
  1. lih. Paus Benediktus XVI, Sacramentum Caritatis, 1 []
  2. lih. KGK 1328 []
  3. KGK 1323 []
  4. lih. KGK 1391 []
  5. KGK 1324 []
  6. lih. KGK 1325 []
  7. lih. Katekismus Gereja Katolik/ KGK 1331 []
  8. St. Ignatius of Antioch, Letter to the Ephesians, n.20 []
  9. lih. KGK 1416 []
  10. Lih. KGK 1329 []
  11. KGK 1370 []
  12. KGK 1371 []
  13. KGK 1392 []
  14. lih. KGK 1265:  Pembaptisan tidak hanya membersihkan dari semua dosa, tetapi serentak menjadikan orang yang baru dibaptis suatu “ciptaan baru” (2 Kor 5:17), seorang anak angkat Allah (Bdk. Gal 4:5-7); ia “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Ptr 1:4), adalah anggota Kristus (Bdk. 1 Kor 6:15; 12:27), “ahli waris” bersama Dia (Rm 8:17) dan kenisah Roh Kudus (Bdk. 1 Kor 6:19). []
  15. Joseph Cardinal Ratzinger (Pope Benedictus XVI), Called to Communion, (San Francisco: Ignatius Press, 1991), p. 33 []
  16. lih. KGK 1402 []
  17. lih. KGK 1040 []
  18. KGK 1405 []
  19. lih. KHK kan 919, 1; KGK 1385 []
  20. lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Sophia Institute Press, New Hampshire, 1960), p.73 []
  21. lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, 11 []
  22. lih. KGK 1331 []
  • Facebook
  • Twitter