Selasa, 03 September 2013






POJOK LITURGI

APA MAKNA BERKAT PENUTUP DALAM PERAYAAN EKARISTI?

Saat penutupan Misa hampir tuntas, umat berdiri. Imam pun memberi Berkat terakhir. Inikah saat yang paling ditunggu umat? Bagi banyak umat, Berkat dianggap penting. Mungkin karena akan segera menuntaskan pertemuannya dengan Tuhan, akan menyempurnakan seluruh keterlibatannya dalam Misa, atau alasan lain lagi yang lebih bersifat pribadi. Tapi, ada saja umat yang tak memperhitungkannya, karena terbiasa sudah meninggalkan Misa begitu selesai menerima Komuni.

Berkat untuk umat didahului dengan Salam oleh imam. Dua unsur ini adalah suatu kesatuan. Bentuk ini dapat dipakai juga di luar Misa. Setiap kali imam hendak memberikan berkatnya, Salam diucapkan terlebih dahulu. Dalam Misa, memberkati itu dapat dilakukan dalam dua cara: sederhana dan meriah. Dipilih salah satu cara saja, sesuai dengan masa liturgi atau tingkat perayaannya.

Salam dan berkat
Dalam buku Ordo Romanus I terdapat bukti bahwa segera sesudah Misa ada kebiasaan Paus memberi berkat di ruang sakristi untuk para uskup. Mereka memintanya kepada Paus. Paus pun mengabulkannya dengan berkata: “Semoga Tuhan memberkati kita”. Mereka menjawab, “Amin”. Kebiasaan ini mungkin yang mengilhami untuk diterapkan juga oleh imam bagi seluruh umat.

Teks yang kini digunakan ternyata sudah ada sejak 1230. Dalam MR 1970, teks Salam itu sama dengan yang diungkapkan pada awal Misa, sebelum pemakluman Injil, atau awal dialog Prefasi: “Tuhan bersamamu”/ “Dan bersama rohmu”. Dalam Misa Pontifikal, ada tambahan dialog yang disampaikan uskup selebran dan dijawab umat.

Imam kemudian memberi berkat: “Semoga saudara sekalian dilindungi, dibimbing, dan diberkati oleh Allah yang Mahakuasa: (+) Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus”. Bila uskup yang memimpin, ia membuat tanda salib tiga kali untuk umat yang berada di sebelah kiri, depan, dan kanannya. Masing-masing
ketika mengucapkan nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Umat menundukkan kepala sambil membuat satu tanda salib pada dirinya dan menjawab “Amin”. Inilah tanda salib trinitaris kedua yang dilakukan umat, seperti yang pertama di awal Misa. Versi terjemahan bahasa Indonesia lebih panjang daripada bahasa Latinnya yang tak mencantumkan “dilindungi, dibimbing”, dan disusun dalam bentuk kalimat aktif (“Benedicat vos omnipotens Deus…”).

Yang lebih semarak
Pada hari-hari atau kesempatan tertentu, bagian akhir Misa ini dapat disemarakkan dengan Berkat Meriah atau dengan Doa untuk Umat (PUMR 90). Dalam buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE) tersedia 21 jenis Berkat Meriah sesuai dengan masa liturgi atau kepentingan khusus. Dari pilihan untuk Misa dalam Masa Adven, Natal, santo-santa, hingga peringatan arwah.

Apa beda antara Berkat cara sederhana dengan cara meriah? Cara sederhana hanya menyebutkan Salam dan imam langsung mengulurkan kedua tangan ke atas umat dan memberi Berkat. Sementara dalam cara meriah, sesudah Salam dan sebelum Berkat ditambahkan tiga pernyataan harapan oleh imam (“Semoga…”) yang dijawab “Amin” oleh umat. Jadi, dalam cara meriah umat menjawab “Amin” sampai empat kali.

Masih ada satu pilihan bentuk lain untuk menambah kesemarakan, yaitu dengan sisipan Doa untuk Umat (oratio super populum). Imam membawakannya sesudah Salam dan sebelum Berkat. Kedua tangannya terulur ke arah umat. Dalam TPE terdapat 41 pilihan yang semuanya diakhiri dengan konklusi kristologis: “Dengan pengantaraan Kristus…”

Seperti biasanya Salam dan Tanda Salib dibuat di awal dan di akhir Misa. Dengan demikian mau dikatakan juga bahwa Misa berakhir seperti saat dimulai. Ada kelanjutannya. Suatu kegiatan baru pun dibuka, yakni untuk melakukan tugas perutusan sebagai pengikut Kristus. Maka, sebelum meninggalkan gereja, kita masih perlu juga mendengarkan kata-kata atau ajakan terakhir yang dinyatakan imam atau diakon.

Pastor Christophorus H. Suryanugraha OSC - HidupKatolik.com
--Deo Gratias--


sumber : Gereja Katolik FB

MENGAPA KITA MERAYAKAN EKARISTI DI GEREJA?

Posted by OMK Santo Michael On 21.53 No comments





POJOK LITURGI

MENGAPA KITA MERAYAKAN EKARISTI DI GEREJA?

Seseorang memasuki gereja. Ia mengambil air suci, mencari tempat duduk, berlutut, berdoa, lalu duduk di sebelah seorang lain. Dia melihat jam tangan. ”Masih lama,” pikirnya. Dia mengambil telpon selularnya. Mulailah dia menyapa ”santa” Nokia dan tenggelam dalam dunia maya.

Mengapa dia tidak disapa atau menyapa orang yang duduk di sebelahnya? Apa yang dia lakukan dengan telpon selularnya? Mungkin lebih menarik lagi jika kita pertanyakan: apa motivasinya datang ke gereja?

Ada banyak faktor yang menjadi pendorong keikutsertaan kita dalam Misa. Alasan pertama semestinya karena menaati perintah Kristus: ”Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.” Ia menghendaki para pengikut-Nya berhimpun dan merayakan misteri kehadiran-Nya dalam rupa roti dan anggur, Tubuh dan Darah-Nya.

Kita bertemu Kristus dan juga diantar Kristus berjumpa dengan Allah Bapa. Saat perjumpaan itu sendiri adalah saat perayaan keselamatan. Perayaan yang menghadirkan Kristus dan mengutuhkan umat beriman. Itulah perayaan Tubuh Mistik Kristus. Sang Kepala berpadu dengan anggota-Nya, yakni Gereja.

Perayaan simbolis ini tidak bisa mengabaikan unsur ke-tubuh-an manusiawi. Seperti Kristus yang telah memberikan diri-Nya secara total, maka dengan ”tubuh” dan seluruh pribadi pula kita hadir di hadapan Allah. Semua yang ada dalam tubuh kita dan dapat dihasilkan olehnya kita libatkan dalam perayaan keselamatan itu.

Kita mau ”melakukan” perayaan itu bukan dengan kehendak dan pikiran saja, tapi juga terutama dengan olah tubuh yang terwujud dalam suatu tindakan atau kegiatan ritual. Diri atau tubuh kita adalah anugerah dari Allah. Kita gunakan pula untuk memuliakan Dia. Segala kemampuan budi dan hati beserta raga dan indera kita kerahkan dalam kegiatan ritual itu.

Kehadiran fisik yang dijiwai semangat untuk bersatu dari setiap jemaat akan mengantar pada persatuan dengan Tubuh Kristus (komuni). Partisipasi yang aktif dan sadar akan berbuah jika kita juga memikirkan keterlibatan diri kita sejak awal Misa, pada saat berkumpul, bahkan jauh sebelumnya, dalam kehidupan sehari-hari.

Gerak tubuh kita yang pertama adalah saat kita beranjak meninggalkan rumah. Bayangkanlah, kita sedang memulai perjalanan menuju perjumpaan dengan Allah, dan akan ditemani Kristus. Perjalanan seperti itu pernah dialami Kleopas dan temannya ketika menuju Emaus.

Kisah Emaus telah menyumbangkan struktur bagi ritus Misa Romawi sekarang. Misa adalah suatu ritus, tindak ibadat yang diulang terus menerus dan memberi makna bagi pelaksananya. Ritus bagaikan suatu perjalanan. Hidup manusia juga seperti perjalanan atau peziarahan. Maka, gerak berjalan dari rumah akan berlanjut di gereja, selanjutnya kembali ke dunia, terlibat dalam kehidupan sehari-hari, kembali lagi ke gereja, dan seterusnya sampai nanti kita mengalami hadir dalam perjamuan surgawi yang selama ini kita cicipi dalam ritus Ekaristi Suci.

Di dalam gereja, gerak perjalanan khusus kita tempuh bersama-sama, saat merayakan Ekaristi. Di awal perjalanan, kita harus mampu bersatu sebagai jemaat. Kita bukan segerombolan orang yang berkumpul di suatu tempat, namun tidak saling kenal. Sebagai suatu keluarga kristiani, putra-putri Allah pengikut Kristus, semestinya kita saling mengenal.

Setidaknya, kita tidak perlu merasa sebagai orang asing di antara orang-orang yang baru pertama kali kita lihat. Perasaan tidak sendirian dan tidak asing menandakan adanya peran Roh Kristus yang mempersatukan jemaat. Maka, sungguh tepat jika di depan pintu gereja ada petugas - atau juga imamnya sendiri - ikut menyambut.

Mereka seolah membuka diri sebagai tuan rumah yang ramah bagi saudara-saudaranya yang datang kembali untuk saling bertemu dan berjumpa dengan Allah. Semoga mereka yang disambut bisa merasakan bahwa dirinya adalah bagian dari satu keluarga Gereja.

Berkumpulnya jemaat sudah melambangkan kesatuan yang menghadirkan Kristus. Inilah cara pertama kehadiran Kristus dalam Misa. Cara kehadiran Kristus yang lain akan tampak juga dalam diri imam yang memimpin, dalam pewartaan Injil, dan dalam rupa roti-anggur. Misteri atau realitas Ilahi itu tersembunyi di balik tanda-tanda lahir yang duniawi dan manusiawi. Sungguhkah kita menyadarinya?

Penulis: Christophorus H. Suryanugraha OSC - HidupKatolik.com
--Deo Gratias--


Sumber : Gereja Katolik FB

APAKAH ARTI DARI DOA LITANI?

Posted by OMK Santo Michael On 21.51 No comments
POJOK KATEKESE

APAKAH ARTI DARI DOA LITANI?

Apakah artinya “litani”? Dalam Puji Syukur No 214, yaitu dalam Litani Santa Perawan Maria, gelar Maria “Rumah Kencana,” “Bintang Timur” dan “Pintu Surga” itu merujuk ke hal apa dalam diri Maria? Mohon penjelasan. Terima kasih.

Yulia Eka Rini, Surabaya

Pertama, kata “litani” berasal dari litania (Latin), yang juga merupakan terjemahan dari litaneia (Yunani). Artinya, untaian doa permohonan yang diserukan atau dinyanyikan pemimpin doa bersahut-sahutan dengan umat. Bentuk doa ini mungkin diambil Gereja awal dari cara berdoa umat Yahudi (bdk Mz 118 dan 136).

Banyak bentuk litani, misalnya litani Santa Hati Yesus yang mahakudus (PS 209), litani nama Yesus yang tersuci (PS 208), litani Orang Kudus (PS 128), litani Santo Yusuf (PS 219), litani Santa Perawan Maria (PS 214). Bahkan, juga ada litani untuk orang kudus tertentu, misalnya litani Santo Vinsensius, dll.

Kedua, litani Santa Perawan Maria yang termuat dalam PS 214 berasal dari Loreto, Itali. Tidak jelas siapa pengarang litani ini. Doa itu mulai didoakan di Loreto sejak tahun 1531. Mulai tahun 1550, doa litani Santa Perawan Maria ini mulai tersebar ke seluruh dunia.

Seruan-seruan ini bersumber pada tiga keistimewaan Maria, yaitu kesuciannya (bdk Maria sebagai Putri Allah Bapa), Maria sebagai Bunda Allah (bdk Maria sebagai Bunda Allah Putra), dan Maria sebagai yang tersuci di antara para perawan (bdk Maria sebagai Mempelai Allah Roh Kudus). Seruan-seruan ini diambil dari Kitab Suci dan uraian para bapa Gereja.

Mulanya jumlah seruan-seruan itu tidak sama, bahkan ada yang mencapai 75 seruan, tetapi kemudian diseragamkan oleh Clemens VIII (1601). Gelar “Ratu yang dikandung tanpa noda dosa asal” ditambahkan pada zaman Gregorius XVI (1839). Leo XIII menambahkan gelar “Ratu rosari yang amat suci” (1883), dan gelar “Maria Bunda Penasihat yang baik” (1903). Benediktus XV menambahkan gelar “Ratu Pencinta Damai” (1915) di tengah perang Dunia I. Akhirnya, Pius XII menambahkan “Ratu yang diangkat ke surga” (1950) di saat pernyataan dogma Maria diangkat ke surga.

Ketiga, gelar “rumah kencana” (Lat: domus aurea) terkait erat dengan gelar Maria sebagai Bunda Allah Putra. Karena Maria mengandung Yesus, Allah-manusia, maka Maria dibandingkan dengan bagian dalam Bait Allah di mana Allah bersemayam di tengah-tengah umat-Nya. Bagian dalam Bait Allah dilapisi dengan emas (kencana) (1 Raj 6:20-22). Maka, sangat tepat jika Maria digelari “rumah kencana.”

Keempat, gelar “pintu surga” (Lat: porta caeli) juga terkait erat dengan peran Maria sebagai Bunda Allah Putra. Pintu surga digambarkan sebagai tempat Allah meninggalkan “kediaman-Nya” untuk menggapai manusia. Di lain pihak, manusia dapat masuk surga melalui pintu yang dibuka oleh Yesus Kristus. Dengan melalui Maria, Allah keluar dari surga dan dengan melalui Yesus Kristus yang dilahirkan oleh Maria, manusia masuk ke dalam surga. Maka, sangat cocoklah bila Maria disebut sebagai pintu surga melalui putranya, Maria membawa Allah kepada manusia, dan sebaliknya membawa manusia kepada Allah.

Kelima, juga gelar “bintang timur” (Lat: stella mattutina) terkait erat dengan peran Maria sebagai Bunda Allah Putra. Karena Maria menjadi Ibu Yesus, Maria menjadi fajar keselamatan Allah. Bintang Timur atau kejora muncul di ufuk Timur mendahului terbitnya matahari. Maria digelari “bintang timur” karena Maria tampil mendahului munculnya Yesus Kristus Penebus, Sang Matahari.

Para legioner pasti merasa sangat kenal ayat Kid 6:10 yang menggambarkan Maria sebagai “bintang timur”: “Siapakah dia yang muncul laksana fajar merekah, indah bagaikan bulan purnama, bercahaya bagaikan surya, dahsyat seperti bala tentara dengan panji-panjinya?” Sebagai “bintang timur,” kehadiran Maria mendahului datangnya Sang Terang (bdk Yoh 1:5-10; 3:19). Maka, jelaslah Maria adalah Bintang Timur.

Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM- HidupKatolik.com
-Deo Gratias--


Sumber : Gereja Katolik FB




MAKNA PERARAKAN MASUK DALAM PERAYAAN EKARISTI

Posted by OMK Santo Michael On 21.49 No comments
POJOK LITURGI

MAKNA PERARAKAN MASUK DALAM PERAYAAN EKARISTI

Rombongan putra altar sudah siap di depan pintu luar sakristi. Ketika seorang putra altar akan memasukkan dupa ke dalam pedupaan yang dipegang kawannya, putra altar lain yang lebih senior menegur: ”Hei, jangan dulu! Yang mengisi itu nanti pastor!” Dijawab: ”Ah, untuk ngisi begini aja kenapa harus pastor sih?” Perdebatan kecil segera berakhir, karena sang putra altar yunior mau memahami dan mengikuti ”petunjuk” seniornya.

Ketika imam sudah bergabung dalam rombongan, petugas pedupaan menghadap imam. Imam pun segera mengisikan dupa ke dalam pedupaan. Lalu, tanpa mengucapkan sesuatu, ia memberi berkat tanda salib untuk pedupaan yang sudah mengepulkan asap dan beraroma itu. Aksi pertama imam sebagai pemimpin perayaan itu menandai dimulainya perarakan masuk, awal Perayaan Ekaristi.

Saat imam bersama para petugas lainnya memasuki ruang perayaan adalah bagian dari Ritus Pembuka. Perarakan masuk selalu menjadi unsur pertama dari Ritus Pembuka dalam Misa yang wajar. Maka, lebih tepat dikatakan bahwa Misa selalu diawali dengan perarakan masuk, bukan dengan nyanyian atau bahkan tanda salib. Ini sebuah keharusan, karena sang imamlah yang akan menentukan kelangsungan Misa. Hanya imam yang mendapat kewenangan dari uskup yang boleh merayakan Ekaristi.

Seluruh unsur dalam Ritus Pembuka bersifat mengantar dan mempersiapkan jemaat untuk dapat mendengarkan Sabda Allah (dalam Liturgi Sabda), yang kemudian memuncak dalam persatuan dengan Tubuh Kristus (dalam Liturgi Ekaristi). Tujuan utama dan paling mendasar dari Ritus Pembuka adalah agar kesatuan jemaat dapat sungguh terwujud. Umat dipersatukan satu sama lain, dipersatukan dengan Gereja sedunia, bahkan dengan Allah. Maka, umat yang berkumpul harus menjadi jemaat (congregatus) yang bersekutu di bawah pimpinan Kristus.

Di tengah umat itu imam mewakili uskupnya yang tak dapat hadir. Uskup sendirilah yang sebenarnya menghadirkan kembali Kristus sebagai kepala jemaat, Gereja. Imam pun sekaligus tampil sebagai Kristus dan pemimpin jemaat. Busana liturgis yang dikenakannya tidak untuk ”sekadar tampil beda”, tapi untuk menopang hakikat perannya itu. Imam sedang memerankan sosok pribadi yang suci.

Busananya menyinarkan cahaya kekudusan dan kemuliaan. Busana profan sehari-hari tampaknya tidak memenuhi persyaratan simbolisme ini. Bagaimanapun bentuk fisiknya, seorang imam sepantasnya berusaha sebaik mungkin tampil sebagai pribadi Kristus. Dalam perarakan masuk, ia disambut jemaat dengan berdiri, tanda penghormatan.

Yesus Kristus pernah bersabda bahwa bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya, maka Ia hadir di tengah mereka. Ketika imam bergabung dengan jemaat maka kesatuan Gereja pun diperteguh dan kehadiran Kristus dinyatakan.

Tampilnya imam sebagai lambang kehadiran Kristus di tengah jemaat didukung beberapa unsur. Unsur-unsur itu dibawa para petugas dengan urutan sebagai berikut: dupa berasap, salib perarakan diapit dua lilin bernyala, dan yang istimewa adalah Evangeliarium, kitab Injil yang dimuliakan dan nanti diletakkan di atas altar sebelum dibawakan sebagai puncak Liturgi Sabda.

Jika seorang uskup menjadi selebran (pemimpin Misa), maka jumlah lilin dan petugas masih bisa ditambah. Sebutlah cara ini sebagai bentuk perarakan meriah. Perarakan meriah biasa dilakukan pada waktu khusus, misalnya untuk Misa tingkat hari raya, Misa ritual (seperti Misa tahbisan), atau Misa stasional (seperti Misa Krisma sebelum Tri Hari Paskah) yang dipimpin uskup.

Cara yang lain adalah perarakan sederhana. Cukuplah imam disertai satu atau dua pelayan altar, tanpa unsur-unsur pendukung seperti layaknya dalam cara meriah. Atau bahkan, imam hanya sendirian memasuki ruang perayaan. Memang ini amat sederhana tapi sudah memenuhi syarat minimal.

Dua bentuk perarakan itu dapat diiringi nyanyian. Dalam cara sederhana tidak diharuskan ada nyanyian. Namun, cara meriah sudah semestinya diiringi nyanyian yang sesuai. Namanya juga ”meriah”, tentu akan tampak aneh jika rombongan yang sudah keren dengan segala atribut kelengkapannya memasuki gereja tanpa iringan apa pun.

Perjalanan menuju puncak dimulai dengan perarakan masuk ini. Sebuah perjumpaan telah terjadi dan peristiwa keselamatan pun akan dirajut dalam jalinan ritual sepanjang Perayaan Ekaristi.

Penulis: Christophorus H. Suryanugraha OSC
- HidupKatolik.com

--Deo Gratias--


Sumber : Gereja Katolik Fb




Tanda Salib dengan Air Suci, Apa Maknanya?

Posted by OMK Santo Michael On 21.46 No comments


POJOK LITURGI

Tanda Salib dengan Air Suci, Apa Maknanya?

Ketika hendak memasuki gereja, seorang ibu mencelupkan jarinya ke dalam tempat air suci yang tersedia di depan pintu gereja. Sebelum membuat tanda salib pada dirinya sendiri, ia menyodorkan jarinya yang basah itu ke anaknya. Anaknya menyambut dengan jarinya yang kemudian ketularan basah. Lalu, ia menyodorkan jarinya yang basah itu kepada ayahnya.

Ayah itu menerima dengan jarinya juga dan meneruskannya kepada anak satunya lagi. Entah, berapa lagi orang yang ikut rombongan keluarga itu. Seberapa basah pula jari-jari yang saling bersentuhan dan saling meneruskan itu. Kejadian seperti ini mungkin pernah kita lihat. Jika kita memahami makna ritual sederhana itu, praktik di atas terasa agak aneh.

Makna
Praktik mencelupkan jari ke dalam air suci biasa kita lakukan, ketika memasuki gedung gereja. Tindakan ini bukan bagian dari Perayaan Ekaristi, maka tak perlu dianggap sebagai keharusan untuk memenuhi syarat ikut merayakan Ekaristi atau Misa. Ritual ini lebih berkaitan dengan ritual baptis. Artinya, untuk mengenangkan saat pembaptisan kita sebagai orang Kristiani. Kita dibaptis dengan air.

Kata ”baptis” berasal dari baptizein (Yunani) yang berarti memandikan, mencelupkan, dan membenamkan. Dibaptis berarti disucikan, dibersihkan dari kuasa dan noda dosa, dijadikan baru, dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah, serupa dengan Yesus Kristus Putra-Nya.

Dulu, orang-orang Kristiani dewasa mengalami pembaptisan dengan cara dibenamkan tiga kali di dalam air kolam atau tempat pemandian. Mereka yang akan dibaptis menanggalkan busananya dan memasuki tempat pembaptisan. Setelah itu, mereka keluar dari air dan diberi busana putih di pinggir kolam.

Tiga kali pembenaman melambangkan iman akan Allah Tritunggal dan saat tiga hari Yesus berada dalam makam. Cara ini kini sudah jarang, bahkan mungkin tak lagi dilakukan, meskipun tidak dilarang oleh Hukum Gereja.

Cara baru dengan menuangkan air di kepala dianggap lebih mudah dipraktikkan. Kolam telah diganti bejana baptis. Imam menuangkan air baptis tiga kali. Angka tiga melambangkan Allah Tritunggal. Maka, nama ketiga pribadi Trinitas ini disebutkan ketika imam menuangkan air. Pembaptisan sesungguhnya adalah tindakan Allah sendiri, bukan tindakan sang imam, meskipun ia mengatakan: ”Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus.”

Cara pengenangan
Untuk mengenangkan pembaptisan ini, kita pinjam empat unsur yang digunakan pada waktu kita dibaptis, yakni air, bejana, tubuh, dan nama Allah Tritunggal. Di depan pintu gereja, kita temukan air suci dalam sebuah wadah, pengganti bejana baptis. Ke dalam air suci ini, kita memasukkan jemari, bagian dari tubuh kita. Dengan air dan jemari yang basah itu, kita membuat tanda salib pada dahi, dada (atau pusar), lengan kiri, dan kanan sembari mengucapkan dalam hati, ”Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Amin.”

Ritual simbolis ini memerlukan penghayatan pribadi. Tidak cukuplah sekadar mencelupkan jemari dan secara refleks membuat tanda salib dengan air suci itu pada diri kita. Secara fisik bisa kita rasakan sejenak, bagian dari tubuh kita disegarkan oleh air suci.

Saat itu, kita membangkitkan kesadaran akan status kita sebagai orang beriman yang telah diselamatkan. Kita membatinkan anugerah istimewa yang telah kita terima berkat kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Selayaknya itu pun kita lakukan untuk diri sendiri, jangan meneruskan air suci yang membasahi jari kepada orang lain.

Gedung gereja yang kita masuki adalah tempat orang Kristiani berhimpun untuk berkomunikasi dengan Allah dan anggota Gereja lainnya, untuk berdoa bersama Kristus, dan untuk memuliakan Allah Bapa. Gedung gereja adalah tempat yang juga sudah disucikan dan layak menjadi tempat bagi umat untuk menerima kembali rahmat pengudusan.

Dengan demikian, lengkaplah cara pengenangan kita ketika memasuki gereja. Sikap tubuh, materi air, dan kata-kata yang membangun makna ritual, serta ruang yang menunjang telah menawarkan sesuatu untuk penghayatan hidup beriman.

Sering juga muncul pertanyaan: ”Masih perlukah membuat tanda salib lagi ketika meninggalkan gedung gereja?” Dalam konteks pemaknaan simbolis ini, kita dapat menjawab: ”Tidak perlu lagi.” Jika ada yang melakukannya, tentulah itu bukan tindakan buruk. Mungkin maknanya berbeda. Bisa juga tindakan ini mengganggu arus masuk umat yang akan mengikuti Misa selanjutnya.

C. Harimanto Suryanugraha OSC- HidupKatolik.com
--Deo Gratias--


sumber : Gereja Katolik FB

Tentang Stipendium dan Iura Stolae (Bagian 1)

Posted by OMK Santo Michael On 21.44 No comments
Tentang Stipendium dan Iura Stolae (Bagian 1)

Pengertian Stips dan Iura Stolae

Istilah yang lazim digunakan dalam kodeks (KHK, 1983) yang dimaksudkan dengan stips (stipendium) adalah: sumbangan suka rela umat beriman dalam bentuk uang kepada seorang imam dengan permintaan agar dirayakan satu atau sejumlah Misa untuk ujud/intensi dari penderma. Stips merupakan balas jasa dari penghargaan suka rela bagi sang imam yang telah melayani suatu kebutuhan umat beriman. Tapi bukan kewajiban umat dan imam pun tidak berhak menuntut.

Sedangkan Iura stolae adalah: sumbangan umat beriman kepada seorang imam yang melaksanakan perayaan sakramen (misalnya: baptis, perkawinan) atau melakukan suatu pelayanan pastoral lainnya seperti pemberkatan rumah. Namun karena sudah “salah kaprah” kedua pengertian tersebut disamakan saja, sehingga istilah tersebut juga lazim disebut stipendium. Perlu diperjelas lagi bagi kita pemahaman tentang stipendium maupun iura stolae adalah berbeda dengan persembahan (oblationes) dan derma (alms. donation), kolekte (collection).

Persembahan (oblationes) adalah pemberiaan suka rela dari umat beriman kepada Allah dalam perayaan peribadatan ilahi dalam bentuk natura (roti, anggur, beras, makanan, dll.) maupun dalam bentuk uang. Pemberian dalam bentuk uang yang dikumpulkan disebut kolekte. Maka kalau ada umat yang mengumpulkan sewaktu perayaan atau yang meletakkan uang dalam amplop di atas meja altar dengan tidak menyebut intensinya itu bukan iura stolae, atau stipendium melainkan kolekte persembahan yang harus dipakai untuk kepentingan Gereja atau paroki. Karena itu, imam tidak berhak mengambilnya untuk kepentingan pribadi.
Makna stips Misa

Sejarah kebiasaan memberi stipendium pada perayaan Misa sudah lama dipraktekan dalam Gereja, bahkan usianya sejak kehidupan Gereja itu sendiri. Meskipun nama dan penafsirannya berubah-ubah selaras dengan perkembangan jaman, tetapi intinya tetap sama yakni bahwa stipendium Misa adalah persembahan dari umat sebagai ungkapan pemberian diri umat kepada Gereja.

Menelusuri makna stipendium, baik KHK tahun 1917 dan KHK tahun 1983 menggunakan kata yang sama meskipun konteksnya berbeda. Dalam kodeks KHK 1917, berbicara tentang stipendium diberi judul: de oblate ad Missae celebrationem stipe, sedangkan kodeks KHK 1983 dengan judul lebih singkat stipendium Missae. Kata stipendium dalam KHK 1917, berasal dari kata Latin stips (stipis) yang berarti derma, sedekah, gaji, dan dari kata pendare berarti membayar derma atau gaji. Berbeda dengan KHK 1983, kata stips digabungkan dengan kata kerja offere yang berarti menghaturkan, memberi, mempersembahkan. Paduan kata stips dan offere berarti memberi derma. Dengan demikian makna kata stipendium dalam kodeks 1983 mempunyai arti baru lebih bernuansa rohani/spiritual bila dibandingkan dengan kodeks yang lama.

Sumber: Situs Katolisitas 'www.katolisitas.org'

Tentang Stipendium dan Iura Stolae (Bagian 2)

Posted by OMK Santo Michael On 21.42 No comments
Tentang Stipendium dan Iura Stolae (Bagian 2)

Aturan kodeks tentang stipendium dan iura stolae

Kitab Hukum Kanonik menegaskan perihal stipendium sebagai suatu kebiasaan/tradisi yang teruji dan merayakan misa sesuai dengan intensi/maksud tertentu dari penderma. Kanon 945, § 1: “Sesuai dengan kebiasaan Gereja yang teruji, imam yang merayakan Misa atau berkonselebrasi boleh menerima stips yang dipersembahkan agar mengaplikasikan Misa untuk intensi tertentu”. Jelas di sini nampak unsur kewajiban dari imam untuk merayakan misa sesuai dengan intensinya. Imam tidak boleh tidak merayakan misa tanpa intensi yang dituntun sesuai dengan maksud dari penderma. Namun demikian imam janganlah memiliki semangat untuk mencari stipendium sampai melupakan tugas pelayanan kepada umat. Demikian juga imam hendaknya melayani semua orang dalam merayakan ekaristi meskipun tanpa stips (stipendium). Hal itu ditegaskan dalam kanon 945, § 2: “Sangat dianjurkan agar para imam merayakan misa untuk intensi umat beriman kristiani, terutama yang miskin, juga tanpa menerima stips”. Kerap kita mendengar keluhan umat bahwa ada imam yang tidak rela melayani umat tertentu karena secara ekonomis kelihatan tidak mampu memberi stipendium. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat hidup seorang imam yang dipanggil oleh Tuhan menjadi imam untuk melayani umat-Nya.

Kitab hukum kanonik juga menyatakan larangan imam menuntut umatnya dalam hal stipendium dalam pelayanan kepada umat secara tegas dinyatakan dalam kan. 848: “Pelayan sakramen tidak boleh menuntut apa-apa bagi pelayanannya selain persembahan (oblationes) yang telah ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, tetapi selalu harus dijaga agar orang yang miskin jangan sampai tidak mendapat bantuan sakramen-sakramen karena kemiskinannya”.

Tujuan orang memberi derma dalam bentuk stipendium adalah bagi kesejahteraan Gereja dan penghidupan para pelayannya. Selain itu, umat diajak untuk bertanggungjawab secara ekonomis atas perkembangan hidup Gereja dan para pelayanannya. Kanon 946 menyatakan: “Umat beriman kristiani, dengan menghaturkan stips agar misa diaplikasikan bagi intensinya, membantu kesejahteraan Gereja dan dengan persembahan itu berpartisipasi dalam usaha Gereja mendukung para pelayan dan karyanya”.

Sumber: Situs Katolisitas 'www.katolisitas.org'

Tentang Stipendium dan Iura Stolae (Bagian 3)

Posted by OMK Santo Michael On 21.40 No comments
Tentang Stipendium dan Iura Stolae (Bagian 3)

Norma-norma dasar

1. Menjauhkan segala bentuk perdagangan stipendium misa

Tidak jarang penerimaan stips atau iura stolae disalahgunakan oleh imam untuk diperdagangkan. Maka kodeks melarang tindakan imam yang dengan sengaja melakukan perdagangan Misa untuk mencari stips. Dengan kata lain imam itu kemana-mana merayakan Misa untuk mendapatkan uang. Pelarangan tersebut didasarkan pada kanon 947 menegaskan: “Hendaknya dijauhkan sama sekali segala kesan perdagangan atau jual beli stips Misa”. Dengan pernyataan itu kodeks mau menegaskan bahwa umat beriman agar tetap menaruh hormat pada ekaristi sebagai tindakan ilahi dan memandangnya sebagai hadiah cuma-cuma dari Allah. Apa yang diberikan secara cuma-cuma hendaknya dikembalikan dengan cuma-cuma. Dengan demikian derma atau stips misa harus dianggap sebagai persembahan bebas dari umat beriman.

Perdagangan stipendium misa bisa diartikan dalam berbagai tindakan seperti:

merayakan misa kalau ada stipendium,
menghimpun sekian banyak stipendium dalam satu misa,
menugaskan imam lain mengaplikasikan misa bagi stipendium di bawah standar tertentu,
menolak permintaan orang miskin yang tidak bisa memberikan stipendium.

Sehubungan dengan permohonan misa tanpa stipendium oleh orang miskin, imam hendaknya memperhatikan isi kodeks kanon 945, § 2 yang menetapkan: “Sangat dianjurkan agar para imam merayakan misa untuk intensi umat beriman kristiani terutama orang miskin, juga tanpa stips”.

2. Jumlah misa dan stipendium

Untuk memahami norma tentang jumlah misa dan stipendium maka kita merujuk pada kanon 948 yang menyatakan: “Jika untuk masing-masing intensi telah dipersembahkan dan diterima stips, meksipun kecil, maka misa harus diaplikasikan masing-masing untuk intensi mereka”.

Kanon ini merupakan prinsip dasar bahwa jumlah misa yang dipersembahkan harus selaras dengan jumlah stipendium yang diterima. Norma kanon tersebut tidak mengijinkan akumulasi banyak persembahan dan melarang setiap imam menitipkan satu intensi lain. Sebagai contoh: penderma memberikan uang Rp. 100.000,- untuk 10 kali misa maka misa dengan ujud itu harus dipersembahkan sesuai dengan permintaan yakni misa sebanyak 10 kali. Setiap hari minggu imam (Pastor Paroki) wajib mempersebahkan misa pro popolo (misa untuk umat di Paroki). Pada saat itu tanpa alasan yang jelas imam tersebut tidak boleh mengaplikasikan intensi misa yang kedua dan ketiga.

Sumber: Situs Katolisitas www.katolisitas.org


Melalui : fb : Gereja Katolik 
  • Facebook
  • Twitter