Jumat, 08 Maret 2013


Bangga dengan Yesus!
Foto: M. Frasinetti
Suatu sore, sambil memangku si Conforti kecil dalam pangkuannya, ibu Antonia menunjukkan kepadanya sebuah salib. Sambil memegang jari jemari Guido, si ibu menuntunnya untuk menyentuh bekas-bekas luka pada paku di Salib sambil berkata: «lihatlah, betapa Allah bersengsara untuk kita».[1]
 
Kesan pertama yang baik adalah sebuah titik pijak yang kokoh untuk terus maju. Inilah saat pertemuan privat antara tatapan mata si Conforti kecil dengan Yesus yang memandang dari salib. Ini adalah sebuah peristiwa sederhana yang terjadi pada diri semua orang. Peristiwa ini bisa terbang bersama dengan angin yang berlari bersama dengan waktu. Namun, tatapan mata dari kayu salib pada sore hari itu membekas di hati si Conforti kecil, merongrongnya dan mendesak dia sepanjang hidup untuk selalu berangkat dari Yang Tersalib.
Inilah peristiwa “pertobatan” si Guido, sebuah peristiwa yang menjadi karakter dari semua orang beriman. Disebut pertobatan karena ada dua unsur penting di dalamnya. Pertama, karena ada rahmat Allah yang berkarya dan kedua, ada sebuah gejala iman yang mentransformasi dinamika kehidupan pribadi dan yang mempengaruhi cara si Conforti kecil untuk berada, berpikir, bertindak dan berelasi di dalam sejarah.
Gejala iman itu bisa berupa sebuah kematian dari beberapa aspek negatif atau egoisme yang manusia miliki. Pertemuan dengan Yang Tersalib membantunya untuk keluar dari kematian ini dan melihat wajah Kristus terpancar dalam wajah setiap orang yang dia temui. Maka, bisa dikatakan bahwa tidak ada seorang katolik tanpa sebuah pengalaman bersama dengan dan di dalam Salib. Pilihan mengikuti jejak Kristus tidak pernah berhenti pada saat pembabtisan. Itulah sebabnya, di setiap jenjang kehidupan manusia, selalu ada saat “kematian” dan “pertobatan” yang harus dirayakan.
Pada musim gugur di tahun 1872, si Conforti kecil pindah dari Casalora ke kota Parma yang berjarak sekitar 13 kilometer. Di kota ini dia memasuki jenjang sekolah dasar di Institut La Salle, dekat di rumah keluarga Maini di jl. Borgo Torto, n° 8. Selama lima tahun tinggal di keluarga ini, si Conforti kecil yang baru berusia delapan tahun belajar hidup sebagai seorang katolik dengan kesederhanaan yang menjadi karakternya. Hidup terpisah dari orang tuanya memberikan waktu kepadanya untuk mengenang saat-saat indah bersama dengan keluarga dan mengingat bagaimana ibunya mengajarinya berdoa.
Pertemuan dengan Yesus yang tersalib di dalam sebuah oratorio yang selalu dia lewati setiap pagi menuju ke sekolah membangunkan kembali kenangan, ketika dia mengenal-Nya dari ibunya. Maka, pertemuan dengan salib Kristus yang besar, amat indah, amat hidup dan sangat menarik perhatian di oratorio tersebut, memanggil kembali kenangan hati masa kecilnya dahulu: “lihatlah, betapa Allah bersengsara untuk kita”.
Kegembiraan bertemu dengan iman yang dimiliki oleh ibunya menuntunnya untuk berlutut dan hening sejenak di depan Kristus yang Tersalib. Keindahan itu tertuang ketika dia menulis “aku memandang Dia dan Dia memandang aku. Seolah-olah, Dia mengatakan banyak hal kepadaku”.[2]
 
Dengan kesaksian ini, Santo Conforti kecil menunjukkan keindahan pertemuan iman dengan Kristus yang Tersalib, sebuah pertemuan yang dipenuhi dengan persahabatan dimana di dalamnya dia berkomunikasi dan mendengar Yang Tersalib. Ketika tatapan-Nya yang memikat melayang ke atas bumi dan tertumpu kepada dia yang berlutut di hadapan-Nya, Dia melepaskan dahaga jiwa yang haus dan yang terus mencari-Nya. Tatapan tajam matanya mengungkapkan keindahan dan kebesaran cinta kasih Allah kepada kita semua melalui penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib. Melalui kesederhanaan ini, terbukalah sebuah cakrawala peziarahan iman yang akan memperkaya dan menopang Guido Conforti sebagai bapak para misionaris dan uskup bagi kota Ravenna dan Parma.
 
P. Alfonsus Widhi sx
Postulat Xaverian di Bintaro
 
sumber : http://alfoesercizi2010.blogspot.com/search/label/Iman

0 komentar:

Posting Komentar

  • Facebook
  • Twitter