Kamis, 07 Februari 2013

Paroki Stella Maris, Jepara

Posted by OMK Santo Michael On 21.22 No comments
Satu hal yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang, ialah justru di kota Jepara sinilah Gereja Katolik yang pertama dan yang tertua di Jawa Tengah didirikan, yaitu pada tahun 1638 dengan seizin     Sultan Agung. Di seluruh Kesultanannya orang bebas memeluk dan memperkembangkan Agama Katolik. Demikianlah menurut ahli sejarah Oderius. Akan tetapi sayang bahwa orang-orang Belanda dari VOC tidak begitu tolerant seperti Sultan Agung dan karena dikeluarkannya Undang-undang Anti-Katolik oleh J.P. Coen, habis musnahlah riwayat Gereja Katolik kuno Jepara, karena imam-imamnya dibuang ke luarg negeri, umat diangkut dari Jepara ke penjara Batavia dan agama Katolik selanjutnya dilarang.
Baru setelah negeri Belanda dikuasai Napoleon, undang-undang Anti Katolik dibatalkan dan mulailah benih-benih agama Katolik ditaburkan lagi di Jawa Tengah, 27 Desember 1808, pastor pertama J. Priensen tiba di Semarang dan menetap di Gedangan. Meskipun dengan banyak rintangan dari pihak pemerintah, gereja Semarang mulai meluas ke Solo, Magelang dan Ambarawa. Akhirnya pada tahun 1914 menerima izin dari Sri Sultan Yogyakarta penyebaran orang Katolik untuk orang Jawa.

Sejak adanya larangan agama Katolik oleh J.P. Coen, sejarah tidak mencatat adanya bekas-bekas agama Katolik dalam wilayah Jepara. Baru dalam dekade-dekade yang akhir-akhir ini mulailah benih-benih agama Katolik yang ditaburkan dalam tahun 1638 semi kembali, setelah mengalami kematian selama 3 abadm yaitu dengan didirikannya stasi Pecangaan yang dipimpin oleh Pastor Stienen MSF pada tahun 1936. Kecuali sebuah H.I.C.S di Pecangaan, didirikannya sekolah-sekolah Rendah Misi di Krasak, Karangrandu, Troso dan Kedung.

Pada waktu nitu di kota Jepara barau ada beberapa glintir saja orang-orang Katolik asli Jepara dan sejumlah guru-guru, yang kebanyakan datang dari daerah selatan (Solo, Klaten, Yogyakarta,  Muntilan dan Ambarawa). Sebagai orang (tokoh) Katolik yang tertua adalah Sdr. Tan Tjing Sioe. Beliaulah cikal bakal umat Katolik Jepara.

Perang Dunia II berkobar, balatentara Jepang menguasai Indonesia (Ned. Indie). Pastor-pastor dimasukkan dala kamp-kamp konsentrasi. Juga Pastor Stienen. Stasi Pecangaan yang barau mulai tumbuh itu berantakan.

Kalau sebelum perang titik berat aktivitas Katolik ada di Pecangaan, maka setelah Proklamasi beralihlah kegiatan itu ke kota Jepara. Gedung-gedung sekolah Misi di daerah Pecangaan disewa ole Dinas PD&K dan dipakai sebagai SD, sedangkan gedung bekas Pastori Pecangaan yang mula-mula juga disewa oleh Instansi Pemerintah kemudian diminta kembali dan dijadika Gereja, Asrama Guru-guru dan SMP Keluarga.
   
Pada masa perjuangan fisik (1945-1949) karena hubungan dengan Semarang terputus, keperluan rohaniah orang-orang Katolik di Jepara dilayani dari Paroki Purwosari, Sala. Di Kudus dan di Pati pada waktu itu belum ada pastornya. Tiga atau empat bulan sekali Rm. Adisudjono MSF mengadakan perjalanan dinasnya mengunjungi orang-orang Katolik di Jepara dan sekitarnya, melalui Cepu, Blora, Rembang, Pati dan Kudus. Kebaktian diadakan di rumah Sdr. Tan Siong Liep dan kemudian pindah di rmah Sdr. Liem Tiong Swan.
   
Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Negeri Belanda (Desember 1948) dan hubungan pulih kembali maka pastor-pastor menduduki posnya kembali di Paroki Kudus dan Pati, dan Stasi Jepara diurus oleh pastor-pastor dari paroki Kudus, berturut-turut Rm. J. Komen MSDF, Rm. A. de Koning MSF, Rm. Stienen MSF dan Rm. C. Jacobs MSF.
   
Sejak saat itu Stasi Jepara sedikit demi sedikit mulai berkembang. Pada tanggal 1 Agustus 1955, dibuka Taman Kanak-Kanak dan SD Keluarga (yang sekarang TK/SD Kanisius) di Jl. Satusan No. 22, Jepara. Mgr. A. Soegijopranoto SJ, Uskup Agung Semarang, pada tanggal 21 Oktober 1956 berkunjung ke Jepara untuk memberikan Sakramen Penguatan. Pada tahun 1961, Mgr. Soegijopranoto memberkati dan meresmikan Gereja Pecangaan. Sejak itu mulai Pecangaan berdiri sendiri sebagai Stasi. Pada tanggal 24 Maret 1963, terbentuklah Dewan Stasi Jepara yang pertama.
   

Pembangunan Gereja
Setelah terbentuk Dewan Stasi Jepara, Rm. C. Jacobs MSF mulai merintis pembangunan gereja sebagai tempat berdoa umaat yang semakin berkembang pada waktu itu. Pada tanggal 18 Mei 1964 diresmikanlah Gereja Katolik Jepara oleh Romo Kardinal Darmojuwono. Gedung gereja yang ditempati saat ini di Jl. AR/ Hakim 42, adalah mili Yayasan Kanisius yang dalam perencanaannya dipergunakan untuk SMP Kanisius. Dari sinilah mulai dipilirkan untuk mencari tanah baru. Atas kerjasama dengan Keuskupan Agung Semarang, dibeli sebidang tanah di Jl. H.O.S. Tjokroaminoto. Sdr. Yoyok Setiawan dipilih sebagai Ketua Panitia pembangunan. Namun, ada masalah dengan perijinan dari Pemerintah Daerah Jepara, yang menurut informasi, penolakan perijinan dengan alasan lokasi di tempat itu menurut planning kota dipakai sebagai KOMPLEK PERKANTORAN (sekarang didirikan Hotel Jepara Indah). Oleh karena perijinan dipersulit, maka panitia pembangunan memutuskan untuk mendirikan gereja barau dalam satu komplek gereja lama, yakni di Jl. AR. Hakim 41 A, sekarang.

Paroki Administratif
Paroki Jepara disebut sebagai paroki administratif dengan induknya paroki Kudus. Paroki ini berada seluas dengan Kabupaten Jepara. Oleh karenanya tempat tinggal umata terpencar. Sampai dengan tahun 1990-an, paroki Jepara terdiri dari 8 (delapan) Stasi: Welahan, Batealit, Bangsri, Mayong, Keling, Donorojo, Pecangaan, K. Jawa/Kedung/Mlongo dan 4 (empat) wilayah: Yohanes, Paulus, Petrus dan Yoseph. Dalam perjalanan waktu selanjutnya mengalami pengurangan sehingga paroki administratif Jepara sekarang ini terdiri dari 4 Stasi: Mayong, Welahan, Pecangaan dan Bangsri (barau 2 tahun terakhir ini hidup kembali dan 4 wilayah: Yohanes, Paulus, Petrus dan Yoseph.

Sumber : http://www.kas.or.id/?id=156&action=Read

0 komentar:

Posting Komentar

  • Facebook
  • Twitter