Orang Muda Katolik (OMK) di tengah arus hubungan antar agama dan kepercayaan (HAK)
1. Meluas Sejak ”Zaman Kita”
Arus dialog antar-agama makin kuat sejak 1960-an. Seperti teologi
pembebasan, teologi pluralisme agama-agama memiliki akar resminya dari
Konsili Vatikan II (1962-1965), dan benihnya diperkenalkan kepada Gereja
oleh Paus Paulus VI dalam ensikliknya Ecclesiam Suam (6 Agustus 1964).
Teologi pluralisme agama-agama ini merupakan buah dari panggilan
Konsili bagi Gereja agar berada dalam dialog dengan agama-agama lain.
Jika teologi pembebasan mengambil titik pijak pada dokumen Gaudium et
Spes (“Kegembiraan dan Harapan”), maka teologi pluralisme agama-agama
berpijak pada dokumen Nostra Aetate (”Zaman Kita”), deklarasi hubungan
Gereja terhadap agama-agama non-Kristen. Walaupun dokumen yang
ditetapkan tahun 1965 ini ini singkat saja, hanya 5 artikel, namun telah
secara signifikan mengubah sikap Gereja Katolik dalam membangun
hubungan dengan masyarakat dan agama-agama lain. Khususnya, artikel di
bawah ini sangat revolusioner, paling tidak menurut standard Gereja
tahun 1960-an:
”Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam
agama-agama [!: The Catholic Church rejects nothing which is true and
holy in these religions]. Dengan sikap hormat dan tulus, Gereja
merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta
ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang
diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan
sinar kebenaran yang menerangi semua orang” (NA, 2). Sampai di sini kita
teringat pula akan Lumen Gentium : ”Sebab mereka yang tanpa bersalah
tidak mengenal Injil Kristus serta GerejaNya, tetapi dengan hati tulus
mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan
kehendakNya yg mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata,
dapat memperoleh keselamatan kekal” (LG, 16)
Catatan berikutnya dalam NA artikel 2 itu mengingatkan, bahwa Gereja tidak mau terjebak dalam indiferentisme:
”Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan
Kristus, yakni jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14:6); dalam Dia manusia
menemukan kepenuhan hidup, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala
sesuatu dengan diriNya (2Kor 5:18-19). Di sini ingatan melayang ke LG
14 yang berseru untuk orang Katolik sendiri: ”Berdasarkan Kitab Suci
dan Tradisi, konsili mengajarkan bahwa Gereja yang sedang mengembara
ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah pengantara dan jalan
keselamatan yakni Kristus. Ia hadir dalam TubuhNya yakni Gereja. Dengan
jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan baptis (Mrk 16:16; Yoh 3:5),
Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja… Maka andaikata ada orang
yang benar-benar tahu bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah
melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tak mau masuk ke
dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan”
Alinea terakhir NA 2: ”Gereja mendorong para puteranya, supaya
dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan
penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta
peri hidup Kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan
harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang
terdapat pada mereka.
Setelah itu, menguatlah arus dialog antar-agama dalam kepala dan
anggota-anggota tubuh Gereja Katolik, dibandingkan era sebelumnya.
Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC) dalam sidang-sidangnya
sejak tahun 1990 – 1995 bergembira dengan arus teologi pluralisme.
Tidak heran karena konteks Asia menuntut Gereja berdialog dengan
agama-agama lain di samping dengan budaya-budaya dan realitas
kemiskinan. Memang, agama-agama besar terlahir di Asia. Bahkan
penerbitan dokumen Dominus Iesus 5 September 2000 oleh Kongregasi Ajaran
Iman, yang menekankan karya penyelamatan Allah melalui Kristus dalam
Gereja Katolik Roma, yang sebenarnya mirip LG 14, tidak mematahkan
semangat dialog, selain malahan menegaskan bahwa alasan dialog memang
diakui muncul karena adanya perbedaan dalam hidup bersama. Isu-isu
teologis yang timbul sejak Dominus Iesus tetap menunjukkan bahwa sikap
positif atas dialog tetap menempati 95%, sedangkan penolakan atas dialog
pasca terbitnya dokumen itu hanya 1% (Edmund Chia, Towards a Theology
of Dialogue: Schillebeeckx’s Method as Bridge between Vatican’s Dominus
Iesus and Asia’s FABC Theology. Bangkok: 2003). Komisi Dialog atau
Hubungan Antar Kepercayaan di FABC, KWI serta Keuskupan dan Paroki pun
dibentuk untuk mengembangkan dialog dengan agama-agama lain, memantapkan
hubungan ekumenis, dan relasi dengan penghayat kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dialog kemudian berkembang dalam tujuh (7) bentuk:
(1) dialog kehidupan, (2) dialog dalam hidup sehari-hari, (3) dialog
karya, (4) kerja sama antar lembaga, (5) dialog pakar, (6) pemahaman
dalam persahabatan, (7) dialog pengalaman religius. Dengan demikian
sebenarnya bisa ditegaskan kebenaran iman kita ini: Allah sendiri-lah
yang menghendaki ”keluar dari dirinya sendiri”, mendatangi manusia
untuk berdialog dengan manusia untuk menyelamatkan manusia.
2. Realitas Orang Muda Katolik (OMK) Dalam Arus Dialog
Rapat Pengurus Komisi Kepemudaan KWI 12 Februari 2009, menegaskan
agar klausul ”mengembangkan wawasan dan pengalaman dialog dengan
agama-agama lain” dimasukkan dalam rancangan Pedoman Pastoral OMK.
Usulan atas kalimat itu dalam Pedoman Pastoral OMK itu bukannya tanpa
alasan. Arus zaman menuntut kita berdialog antar agama, dan Komisi
Kepemudaan semestinya mengajak OMK berlatih berdialog. Maka, dialog
antar-agama mesti menjadi perhatian Komisi Kepemudaan pula. Kita tahu
dari pengalaman, betapa urusan Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan
(HAK) selama ini terkesan menjadi urusan orang tua. Padahal di
lapangan, banyak ajakan berdialog kepada OMK di tingkat paroki,
kevikepan/dekenat, maupun keuskupan, dan nasional baik oleh pemerintah
maupun majelis agama-agama dan forum-forum lintas agama. Kebutuhan
untuk menampilkan OMK dalam panggung dialog ini hendaknya bukan hanya
karena desakan rasa malu karena selama ini kita sukar memenuhi undangan
dari saudara-saudara kita karena minimnya OMK yang mau dan mampu
terlibat, namun hendaknya didorong dari dalam oleh ketulusan hati yang
penuh syukur atas kasih Allah yang menggapai semua orang. Kesungguhan
untuk melibatkan OMK dalam HAK sebenarnyalah bukan karena OMK kita
selama ini ”mengkawatirkan” jika harus menjelaskan pengetahuan iman
Katolik mereka di antara teman-teman agama-agama lain yang begitu
percaya diri, namun lebih-lebih karena perutusan oleh Tuhan sendiri
untuk menaburkan cinta kasihNya demi terwujudnya Kerajaan Allah di
dunia.
3. Harapan atas OMK di Tengah Arus Dialog Agama-Agama
Pastoral OMK mesti menganut blue ocean management. Karya kepemudaan
tak bisa mengincar satu bentuk saja. Fokus Karya KomKep memang hanya
satu yakni pengembangan OMK secara holistik pada
katolisitas/spiritualitas, kepribadian, kemasyarakatan,
kepemimpinan/organisasi dan profesionalitas. OMK Indonesia dengan
segala dimensinya harus berkembang, dengan program, bentuk dan cara
kegiatan yang beraneka ragam dan banyak pilihan, termasuk pengembangan
diri OMK dalam hal dialog antaragama dan kepercayaan. Oleh karena itu,
pastoral OMK dalam konteks HAK semestinya:
1. Menetapkan tujuan pelibatan OMK dalam HAK, berdasar needs
analysis, tentu saja bisa dipakai berbagai alat analisis, seperti SWOT,
dll, namun juga alat pikir tiga poros keadaban publik (NotaPastoral
KWI 2004).
2. Menetapkan desain program yang nyata dalam kerja sama dengan
Komisi HAK. Pembinaan Orang Muda Katolik yang holistik, bersama Komisi
HAK semoga berani membidik keberanian OMK agar menghayati iman dengan
praktek hidup, aktif terlibat dalam hidup kemasyarakatan, berjiwa
pejuang wirausaha, menjalani studi dengan baik, mudah berefleksi, mudah
mengayunkan hati dalam doa, dan ringan hati menjalin persahabatan
dengan teman-teman agama-agama dan kepercayaan lain. Pendek kata,
menghasilkan OMK yang siap berdialog dalam ketujuh bentuknya di atas
dengan teman-teman agama-agama lain.
3. Menumbuhkan minat OMK akan pengetahuan imannya. Kenyataan ini
berbanding lurus dengan kemalasan membaca kekayaan iman dan
intelektual, suatu depositum fidei yang dalam dan luas dari Gereja
Katolik. Kemalasan dan minimnya pengetahuan iman yang menjadi suatu
batu sandungan jika ingin suatu dialog yang lebih mendalam dengan
teman-teman agama-agama lain. Apa yang mau didialogkan jika tak tahu
persis mengenai aspek-aspek pengetahuan imannya sendiri? Apa bisa
berdialog jika tidak terjun langsung dan segera bergaul dengan
teman-teman muda dari agama-agama lain?
4. Peluang
Zaman kita memberi peluang baru yakni minat OMK akan teknologi
informasi terkini. Jika orang muda Katolik mulai membangun jejaring
dalam berbagai minat dengan aneka milist, facebook, twitter, blog,
website, tentu saja alat ini akan berguna pula bagi pengembangan
jejaring muda Katolik penggerak HAK. Yang saya maksud bukanlah media
kontak-kontak romantisme belaka, namun terlebih bagaimana memakai media
internet untuk menambah pengetahuan iman Katolik bagi OMK, dan
berdialog dengan agama-agama lain dalam 7 bentuknya di atas. Beberapa
website Katolik yang dikelola dengan baik oleh umat bisa ditautkan
dengan website OMK dalam rangka membina HAK. Orang muda agama lain bisa
diundang agar berinteraksi di dalamnya untuk berdialog. Semoga.
Yohanes Dwi Harsanto Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan KWI.
Tulisan ini pernah dipaparkan dalam diskusi Komisi HAK Regio Jawa,
Februari 2009.
https://www.facebook.com/groups/orangmudakatolik/doc/185572251479843/
0 komentar:
Posting Komentar