Sekolah Minggu
(Sebuah kisah lama, smeoga menyemangati kita semua !)
Bocah-bocah dusun di lingkungan St. Antonius Sendangsari
bernyanyi-nyanyi dengan gembira. Mereka nampak nongkrong di pembatas
jembatan kecil di pinggir jalan Sumberlawang. Beberapa mudika dan bapak
ibu nampak berbincang tak jauh dari anak-anak itu.
Nah, itu dia Pak Kardi.
“Pak Kardi datang”. Seru seorang anak. Segera saja belasan anak
berlarian ke jalan. Sebuah pick up tua berwarna merah mendekat. Sesaat
kemudian, Pak Kardi yang mulai beruban dengan senyum yang khas penuh
kebapakan turun menyapa anak-anak itu.
“Ayo naik, naik”
tanpa disusruh dua kali anak-anak Sendangsari pun berebutan naik ke bak belakang mobil merah itu.
“kamu ikut kan, John ?” Tanya Anna.
“Yo”
Keduanya pun lantas meloncat masuk ke dalam bak, bergabung bersama kanak-kanak yang gembira.
“Sudah siaaaaaaaappppp ?” Pak Kardi berteriak bertanya.
“Siiiaaaappp komandan.” Seru anak-anak itu kompak.
Glodhag, glodhag. Dan mobil pun bergoyangan bergerak perlahan
Anak-anak itu pun melambaikan tangan pada orang tua-orang tua mereka
yang mengantar di tepi jalan, juga pada beberapa kakak mudika yang ikut
berkumpul pagi itu. Nendra dan Anton nampak mendampingi dengan
motor-motor mereka.
Siapa tak senang dolan setiap minggu pagi, dengan mobil bak terbuka
berkelana ke sana kemari melintas sawah-sawah merambah dusun demi dusun ?
Itulah yang dilakoni anak-anak St. Antonius Sendangsari tiap minggunya.
Tapi mereka bukan sekedar dolan. Mereka bertualang untuk mengikuti
sekolah minggu di gereja stasi mereka. Sebuah gereja mungil yang
terletak di lereng bukit agak jauh dari dusun mereka tinggal.
Dan anak-anak itu sangat senang pada Pak Kardi. Yang walaupun kadang
galak, namun setia menjemput dan mengantar mereka. Demikian juga segenap
warga Sumberlawang. Maka ketika Pak Kardi sakit seluruh stasi pun
sepertinya ikut merasakan kesedihan. Benar memang Pak Alex lalu
menggantikan untuk sementara peran Pak Kardi, namun toh tak mungkin
seakrab dan sehangat sapaan Pak Kardi yang khas dengan gigi ompongnya
itu.
Dan Pak Kardi adalah seorang pensiunan yang dengan setia mengisi
minggu paginya dengan menjemputi kanak-kanak yang belia itu. Tak hanya
anak-anak Sendangsari, namun juga Kalisari, Tlagasari, Tuksari, hingga
Ranusari. Dan karena itu kadang-kadang Pak Kardi harus mengitari
trayeknya dua atau tiga kali agar semua bocah Sumberlawang dapat bertemu
dengan Kristus dan sahabat-sahabat dalam iman. Kadang-kadang ia
ditemani Pak Barjo, seorang guru desa di Dusun Beliksari. Pak Dar dan
beberapa bapak lain kadang mengawal dengan motor mereka. Demikian juga
beberapa mudika nampak setia mengiringi adik-adik mereka. Dan jadilah
sebuah konvoi unik tiap minggu pagi di jalan-jalan dusun-dusun
Sumberlawang.
“Aku diberkati, sepanjang hidupku diberkati, mulai dari bangun pagi, saing berganti malam aku diberkati….”
Terdengar nyanyi gembira bocah-bocah itu. Anna pun ikut bernyanyi
dengan riang. John yang meski telah diajari berkali-kali tetap tak
mampu mengambil nada yang tepat, lebih memilih menggeleng-geleng kepala
sambil bertepuk tangan. “Penghayatan estetikmu kurang sih” komentar Anna
suatu kali. “Coba bibirmu lebih maju”.
Tapi segala daya upaya nampak sama saja. John pun menyerah dengan
usahanya, dan kini nampak berpasrah, lebih menikmati kegembiraan bersama
di tengah-tengah mereka.
“Gimana Pak, Bu Darmi sudah sehat atau belum ?” tanya Pak Barjo yang
kebetulan menemani Pak Kardi pagi itu, menyapa Pak Darmo, sembari
menunggu kanak-kanak Dusun Tlagasari menaiki mobil.
“Pangestunipun, Pak. Sudah agak lumayan”
“Sudah jadi periksa ke Solo kan ?”
yang ditanya mengangguk-angguk.
Tapi pagi itu Pak Barjo tak bisa menemani hingga mereka tiba di
gereja stasi, ia turun di perempatan dekat makam dusun, “Saya pamit dulu
ya, saya harus mampir ke rumah bulik Sri.”
“Lha ada apa to Pak ? Tanya John.
“Itu lho persiapan mantu si Warni”
Di perempatan di depan, Pak Barjo pun turun. Mobil kini kembali bergoyangan melewati jalan dusun yang mulai rusak dan menamjak.
“Mestinya ya sudah diaspal lagi. Wong jalan penting kayak gini kok
lubangnya ndak karuan.” Terdengar umpatan Nendra. Pak Kardi tertawa. Ia
berkata,
“Besok, habis panen ini kita usul ke Pak Kadus, gimana ?”
Sesaat kemudian mereka tiba di Stasi.
“Ayooooo turun, turun, turun !!!” Seru Anna sembari berdiri di bak
belakang. John sendiri sudah berada di bawah. Ia menyambut membantu
setiap anak-anak yang berlompatan turun. Tentu agak sudah bagi mereka
yang terlalu kecil untuk turun dari mobil. Mereka mempercayakan diri
pada tangan-tangan muda yang menopangnya. Tapi seorang yang terakhir
nampak sungkan malu-malu.
“Aku bisa turun sendiri, Oom John ! “ terdengar suara lembut dari atas bak. John pun mendelik. Oops, itu Anna.
Biasanya Anna akan dengan cerewet menyemburkan aneka kosakata. Tapi
pagi itu, entah kenapa, gadis manis itu tersenyum. Dan John pun
kehilangan kata-kata.
Beberapa mudika nampak sudah sibuk menyiapkan tempat. Kebetulan tak
ada misa minggu pagi di stasi, karena perayaan ekaristi telah
dipersembahkan hari Sabtu sore sebelumnya. Dan pagi ini giliran
lingkungan St. Paulus yang mengisi sekolah minggu. Kang Bambang sudah
siap dengan guyon kocak habis-habisannya (ia nampak sibuk berlatih
dengan beberapa anak yang sudah hadir di sana). Sementara itu, Wisnu
bersiap-siap dengan gitarnya. Ia nampak begitu serius menyetem gitar.
Ini menjadi obyek yang menarik bagi beberapa anak cerdas kreatif yang
berbakat seni. Tak butuh lima belas menit untuk memindahkannya ke papan
tulis stasi, lengkap dengan segala distorsi bentuk dan komentar
pelengkapnya.
Mereka, keluar lagi untuk menjemput tiga anak-anak lagi di dusun
sebelah. Kali ini Pak Kardi, Anna, dan John yang memang koordinator
urusan penjemputan, ditemani Niken dan Nanang. Itung-itung bertualang,
kata mereka.
Di sana, di dusun Kalisari, di depan sebuah rumah dengan warung kecil
di depannya, Gaby, Prita, dan Vina sundah menunggu. Bu Warsi nampak
sibuk dengan bagor berisi dagangannya.
“Lho, Bu Warsi mau ikut juga ? Kok tumben.” Komentar Nanang dari atas motornya.
“Iya je le, mumpung ada tumpangan gratis. Nanti mampir ke Pasar Legi ya, Pak Sopir ya.” Sahut bu Warsi dengan senyum kocak.
“Oalah, mau ke pasar to ?” Si nenek pun meringis.
“He he he, boleh dong nenek-nenek kreatif.”
Para mudika itu hanya melongo.
“Iya, nanti jangan lupa oleh-oleh buat Andien ya mbah ya ?” Kata Andien kecil.
“Iya, buat Carlo juga, mbah.”
“Andi juga”
“:Klisti, Mbah.” Terdengar suara cadel.
“Toni”
“Wal ketan juruh ya”
“Bayu minta thiwul”
“Robert tape ya mbah”
Lalu terdengar suara riuh bocah-bocah itu.
Dan simbah pun terkapar.
Sabtu pagi, Juni 2004
dari kisah seorang teman.
WebRepOverall rating
https://www.facebook.com/groups/orangmudakatolik/doc/185892481447820/
0 komentar:
Posting Komentar